Kisah Ahmad Yani, Sang Jenderal Kesayangan dan Anak Emas Sukarno


Di sebuah kota kecil bernama Purworejo, tahun 1922, lahirlah seorang anak yang kelak akan menjadi salah satu jenderal muda paling dikagumi Indonesia—Ahmad Yani. Sejak kecil, ia dikenal tekun, cerdas, dan penuh disiplin. Jalannya membawanya masuk ke dunia militer, dari masa pendudukan Jepang hingga akhirnya bergabung dengan Tentara Republik Indonesia.

Nama Ahmad Yani mulai mencuat ketika ia dipercaya menumpas gerakan DI/TII di Jawa Tengah dan PRRI di Sumatera. Dengan strategi cerdik dan keberanian di lapangan, ia berhasil meredam perlawanan kedua gerakan tersebut. Dari situlah namanya sampai ke telinga Presiden Sukarno.


Dekat dengan Sang Proklamator

Sukarno melihat dalam diri Yani sesuatu yang berbeda: penampilan rapi, sopan, berwawasan modern, namun tetap teguh memegang disiplin militer. Di mata Bung Karno, Yani adalah perwira ideal—tegas di medan perang, tetapi tidak suka bermain politik.

Hubungan keduanya semakin erat ketika Sukarno mengangkat Yani sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat pada tahun 1962, menggantikan Jenderal Nasution. Sejak itu, Yani selalu mendampingi Presiden dalam berbagai kegiatan. Kehadirannya begitu sering di samping Bung Karno, hingga orang-orang yang menjulukinya “anak emas Sukarno.” Bahkan Sukarno pernah menyampaikan keinginannya kepada Jenderal AH.Nasution bahwa Ahmad Yani masa depan yang harus menggantikannya sebagai presiden ketika kesehatannya nanti sudah tidak bisa lagi untuk diangkat menjadi presiden.

Namun kedekatan itu bukan berarti Yani hanyalah pengikut buta. Dalam hatinya, ia tetap berhati-hati terhadap langkah Bung Karno yang semakin condong ke PKI. Yani menolak ide-ide PKI, menolak pembentukan Angkatan Kelima (buruh dan tani bersenjata), dan berusaha menjaga marwah Angkatan Darat agar tetap netral.


Di Tengah Pusaran Politik

Tahun-tahun menjelang tahun 1965 adalah masa penuh gejolak. Sukarno semakin mesra dengan PKI, sementara Angkatan Darat menaruh curiga. Ahmad Yani berada di tengah pusaran itu:

Di satu sisi ia harus tetap setia pada Bung Karno, sang Presiden yang sudah mengangkatnya dan begitu percaya padanya.

Di sisi lain, ia harus melindungi institusi Angkatan Darat dari pengaruh politik komunis.

Ketegangan itu menjadikannya semakin menonjol. PKI memandang Yani sebagai penghalang utama cita-cita mereka.


Malam Berdarah 30 September 1965

Malam itu, 30 September 1965, Jakarta sunyi. Di rumah dinasnya di Jalan Latuharhary, Ahmad Yani sedang beristirahat. Tak lama, sepasukan Cakrabirawa datang. Mereka mengetuk pintu, mengaku bermaksud menyambut sang Jenderal untuk bertemu Presiden Sukarno.

Yani, yang sejak lama sudah terbiasa dekat dengan Bung Karno, tak menaruh curiga. Namun begitu ia keluar, peluru menembus tubuhnya. Ia gugur seketika di hadapan keluarganya sendiri. Jenazahnya lalu dibawa ke Lubang Buaya, bersama lima jenderal lainnya.


Warisan Seorang Jenderal Muda

Kabar kematiannya menggemparkan Indonesia. Seorang jenderal muda yang digadang-gadang akan menjadi pemimpin besar Angkatan Darat bahkan pemimpin tertinggi yang akan menggantikan Sukarno yang telah tewas secara tragis. Ketika Sukarno menziarahi Makam Ahmad Yani, sang presiden tidak bisa menahan tangis kesedihannya di depan pusara sang anak emasnya dan itu adalah sebuah momen langka ketika seorang pemimpin besar terisak tangisnya didepan publik.


Ironi sejarah: kedekatannya dengan Sukarno tak menyelamatkan nyawanya. Justru karena dianggap terlalu berpengaruh, terlalu dekat dengan Presiden, dan terlalu berbahaya bagi PKI, Yani dijadikan target utama.

Kini, nama Ahmad Yani dikenang sebagai Pahlawan Revolusi, simbol prajurit profesional yang setia pada bangsa, sederhana dalam hidup, dan teguh menjaga kehormatan Angkatan Darat.

--