Kisah Pangdam V Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah pada Hari Terbunuhnya Enam Jenderal dan Satu Letnan Satu


Kisah yang dialami oleh orang-orang tertentu terkait dengan terbunuhnya enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat pada dini hari 1 Oktober 1965 hampir sama menariknya. Peristiwa tersebut memang merupakan kejadian luar biasa yang di luar perkiraan banyak orang. Dalam peristiwa DI TII, PRRI Permesta, Daud Beureuh, Kahar Muzakkar, dll, tidak ada seorang pun Jenderal atau bahkan seorang perwira menengah yang terbunuh pada saat yang bersamaan. Jenderal Purn. Umar Wirahadikusumah menceritakan kisahnya sebagai Pangdam V Jaya waktu itu dalam buku, "Umar Wirahadikusumah Dari Peristiwa Ke Peristiwa."


Pada sekitar pukul empat dinihari ajudan pak Nas melapor kepada Pangdam V Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah melalui telpon tentang kejadian di rumah Jendral Nasution. Sementara itu datang pula petugas piket garnisun dari Kodam V Jaya Kapten Sulasdi menggunakan jeep yang dikawal sebuah panser ke rumah pak Umar. 


Kemudian pak Umar pergi ke rumah pak Nas. Di bunderan Jalan Tengku Umar terlihat banyak anak-anak muda bersenjata stengun melihat-lihat ke arah rumah pak Nas. Para pengawal rumah pak Nas terlihat lemah, senjata mereka sudah dilucuti oleh para penculik. Dilaporkan bahwa pak Nas menyelamatkan diri ke samping rumah tetangga. Pak Umar mencoba memanggil- manggil pak Nas, sambil menyebut dirinya Umar. Pak Umar pernah jadi ajudan dulu, jadi mereka sudah kenal dekat. Pak Nas kemudian bercerita bahwa beliau mendengar panggilan dari seseorang yang menyebut dirinya Umar. Tapi pak Nas kuatir itu bukannya Mayjen Umar Wirahadikusumah. Karena itu pak Nas diam saja. 


Kemudian pak Umar mendatangi rumah-rumah para jenderal yang jadi korban kekejaman G30S. Setelah itu pak Umar memerintahkan ajudan pak Yani Kapten Subardi menghadap Kolonel Sarwo Edhie Wibowo memimpin RPKAD dan meminta menyiapkan pasukan RPKAD untuk menunggu perintah dari Pangdam. 


Setelah itu pak Umar mengadakan rapat staf di kantornya. Pak Umar juga meminta stafnya untuk memerintahkan PM mengawasi pasukan yang tidak jelas identitasnya dan ditempatkan di dekat istana dalam keadaan siap tempur.

 

Selanjutnya pak Umar menuju istana untuk bertemu presiden, karena semua jenderal-jenderal tersebut menyebut mereka diperintahkan presiden, dan jenderal-jenderal tersebut dipanggil presiden. Sesampai di istana pak Umar mendapat informasi presiden belum datang. Pak Umar juga diberitahu bahwa ada Brigjen Supardjo yang sedang menunggu presiden. Pak Umar menolak untuk bertemu, karena tidak ada kepentingannya. Sebelum kembali ke kantor, kepada pengawal istana pak Umar berpesan agar hati-hati mengawasi orang yang keluar-masuk istana. 


Di kantor, pak Umar memerintahkan Komandan Kodim yang bertanggung jawab di wilayah tempat terjadinya penculikan untuk menghadap Panglima Kostrad melaporkan semua yang terjadi. Kemudian pak Umar pergi ke Kostrad untuk menemui pak Harto. Pak Harto mengatakan bahwa beliau telah mengambil alih pimpinan Angkatan Darat seperti biasa bila pak Yani berhalangan pak Harto yang menggantikan pak Yani. 


Sebagai Penanggung-jawab daerah Pak Umar diperintahkan agar melarang penerbitan koran-koran yang berafiliasi ke PKI seperti Harian Rakyat dan Suluh Indonesia. Karena itu pak Umar dipanggil presiden Sukarno. Bung Karno meminta agar jangan ada pembredelan koran-koran. Media jangan dibatasi kata Bung Karno, lagian itu kan urusan Menteri Penerangan. Pak Umar lalu memberi alasan pembredelan tersebut. Kemudian Presiden Sukarno memanggil pak Harto untuk berbicara berdua. Sepulangnya dari istana, di dalam mobil pak Harto memberi tahu bahwa Presiden Sukarno menginginkan pak Umar keluar dari Kodam. Lalu pak Umat menyerahkan kepada pak Harto mau menempatkannya di mana saja Tapi kemudian pak Umar justru diangkat jadi Panglima Kostrad menggantikan pak Harto.