Arah Perubahan

Arah perubahan tidak boleh lagi hanya fokus pada perubahan orang, melainkan harus mengarah pada perubahan sistem kepemimpinan, yakni mewujudkan sistem kepemimpinan Islam. Sepanjang sistem bobrok demokrasi diterapkan, kehidupan tidak akan berubah dari yang terjadi sekarang. #Editorial


--

Curang demi Kekuasaan, Hal Lumrah dalam Politik Sekuler Demokrasi


https://muslimahnews.net/2024/02/13/27063/

--


Muslimah News, EDITORIAL — Film Dirty Vote tetiba viral. Baru launching sehari saja, penontonnya sudah lebih dari 5 juta orang. Bahkan jika dua akun YouTube resmi yang merilisnya dijumlah, total penonton sudah lebih dari 10 juta orang. Jumlah ini belum termasuk peminat diskusi dan ulasannya yang diangkat di berbagai kanal.


Film ini menjadi fenomenal karena mengangkat tema sensitif tentang kecurangan-kecurangan dalam pemilu lima tahunan. Para penonton disuguhi berbagai fakta dan data serta analisis tajam oleh tiga ahli hukum tata negara di Indonesia. Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti.


Pro kontra tentu saja tidak terhindarkan. Sebagian pihak mengatakan film ini sejatinya jauh dari kata netral dan berpotensi menggembosi suara salah satu paslon. Mereka pun mempertanyakan kredibilitas narasumber dan validitas data yang digunakan. Maklum, jika ditilik, kritik yang disampaikan memang lebih banyak menguliti peran Jokowi dalam upaya memenangkan dua kali pemilihan, termasuk mengkritisi upayanya sebagai pemegang kekuasaan dalam memenangkan paslon 02 di pemilu yang akan datang.


Hanya saja, tidak sedikit pula pihak yang memberi respons positif terhadap isi film ini. Mereka seakan baru dibuka kesadarannya bahwa borok demokrasi di negeri mereka benar-benar parah. Sebagian besar komentar netizen bahkan menunjukkan kemarahan dan kekecewaan yang mendalam, termasuk dari mereka yang sebelumnya turut mendukung dan mengelu-elukan.


--

Mengonfirmasi Kebobrokan

--


Film bergenre dokumenter eksplanatori besutan Dandhy Dwi Laksono ini banyak membongkar kolaborasi berbagai elemen kekuasaan dalam menyukseskan agenda memilih dan melanggengkan kepemimpinan Jokowi.


Kecurangan itu tampak nyata dalam bentuk penyalahgunaan wewenang kekuasaan dan rekayasa berbagai kebijakan di setiap levelnya. Salah satu yang disorot tajam adalah penempatan “orang-orang dekat” presiden pada berbagai posisi strategis untuk merebut kemenangan. Semua potensi politis dan strategis mereka digunakan pada proses pertarungan. Rekayasa undang-undang dan kebijakan pun dilakukan dengan rapi sehingga praktik curang pun tampak legal.


Tidak tanggung-tanggung, mulai dari Mahkamah Konstitusi, menteri-menteri, para gubernur, wali kota dan bupati, para pejabat Polri hingga perangkat lurah dan kepala desa diduga kuat digerakkan dalam skenario besar ini. Tentu saja semua bukan tanpa kompensasi.


Upaya pemihakan pun dilakukan secara atraktif oleh kepala negara kepada salah satu paslon yang merupakan anak sulungnya. Ia pun terindikasi secara sengaja melakukan berbagai upaya kampanye dengan menggunakan berbagai fasilitas negara dan memanfaatkan agenda-agenda kenegaraan.


Yang paling tampak mencolok mata adalah pembagian bansos yang polanya selalu intens dilakukan setiap menjelang pesta lima tahunan. Pembagian hak rakyat yang dananya berasal dari keuangan negara ini “ditempeli” pesan politik untuk memilih paslon yang “siap melanjutkan”. Bivitri Savitri menyebut kecurangan yang dilakukan ini sebagai politik gentong babi.


Masalahnya, diakui bahwa kompleksitas sistem pemilu di Indonesia adalah terbesar di dunia. Selain karena melibatkan jumlah penduduk yang sangat besar beserta sebaran wilayahnya yang sangat luas, aspirasi dan kepentingan yang ada di baliknya pun sangatlah kuat dan beragam.


Siapa pun tahu, potensi ekonomi dan geopolitik Indonesia di kancah internasional, sangat menarik perhatian dari banyak pihak. Mereka saling berebut untuk memastikan akses terhadap semua potensi itu tetap terbuka lebar. Akses tersebut tidak lain ada pada pemilik kekuasaan.


Dengan demikian, sejatinya apa yang diangkat oleh Dandhy dan kawan-kawan bukanlah sesuatu yang baru. Kecurangan demi kecurangan faktanya memang selalu ada mewarnai setiap momentum pemilu. Yang berbeda hanyalah siapa yang memainkan, seberapa besar kadar kecurangan, kecanggihan teknik permainan, dan sejenisnya. Namun, banyak pihak mengakui bahwa hal yang terjadi sekarang, sudah sangat terbuka dan sangat keterlaluan.


--

Cacat Bawaan Sistem

--


Melihat hal demikian, semestinya kita sudah bisa berkesimpulan bahwa problemnya bukan hanya ada pada orang. Istilah human error jelas tidak lagi tepat untuk dituding sebagai penyebab terjadinya kesalahan berulang dan tersistem.


Terlebih pada faktanya, para pemain politik praktis dalam sistem demokrasi, baik person maupun parpol, dari dulu juga hakikatnya tetap sama saja. Mereka yang berseteru adalah mereka yang pada kesempatan lain menjadi kawan sejalan.


Begitu pun dengan narasinya. Kalau tidak melanjutkan, memperbaiki, ya perubahan. Narasi ini bisa dimainkan ulang oleh pihak yang berbeda pada satu kesempatan, dan berubah bagi orang yang sama, pada kesempatan lainnya. Semua perubahan ini semata tergantung kepentingan pragmatis alias kekinian.


Permainan politik seperti ini sebetulnya sangat lumrah dalam sistem politik demokrasi. Sistem yang tegak di atas asas sekularisme ini sama sekali tidak mengenal Tuhan, apalagi konsep halal/haram. Apa pun boleh dilakukan demi meraih kekuasaan. Legalitas sebuah tindakan pun bisa diatur dengan kekuatan uang.


Pemilihan kepemimpinan dalam sistem ini sejatinya hanya kamuflase atas prinsip daulat rakyat yang diagung-agungkan. Secara periodik rakyat seakan diberi hak politik, padahal sejatinya yang tampil sebagai pemenang tetap saja para pemilik uang. Tidak heran ketika pemilu usai, rakyat pun ditinggalkan. Triliunan uang yang dihambur-hamburkan untuk pesta lima tahunan akhirnya hanya menyisakan penderitaan panjang, termasuk melahirkan budaya koruptif dan perpecahan yang diwajarkan.


Banyak kebijakan yang ditetapkan penguasa pilihan rakyat berselisih jalan dengan keinginan rakyatnya. Kebijakan politik yang dilahirkan para penguasa yang konon menjadi representasi rakyat, nyatanya hanya representasi kepentingan politik para pemilik uang.


Hubungan penguasa dan para pemilik uang dalam demokrasi memang tidak bisa dipisahkan. Keduanya menjalin hubungan saling menguntungkan demi kursi panas kekuasaan yang berkelindan dengan target menambah akumulasi modal. Oleh karenanya, kredo fox populi fox dei, alias suara rakyat suara Tuhan yang disucikan pun menjadi mantra manis yang hanya laku bagi para pecundang.


Pantas jika Steven Levitsky dan Daniel Ziblat dari Harvard University pernah menulis buku How Democracies Die yang pernah viral pada tahun 2018-an. Mereka menulis bahwa demokrasi akan mati di tangan penguasa yang dipilih melalui jalur demokrasi itu sendiri. Yakni ketika mereka mulai menolak nilai-nilai toleransi dan menampakkan perilaku otoritarianisme sebagaimana yang justru tampak saat ini.


Sayangnya, mereka tidak sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi memang akan benar-benar mati karena cacat bawaannya sendiri. Demokrasi tegak di atas asas yang rusak dan senyatanya telah melahirkan berbagai aturan yang juga rusak dan merusak.


--

Butuh Perubahan ke Arah Islam

--


Pengetahuan atas bobroknya sistem yang ada tentu tidak akan berdampak apa pun jika tidak dilanjutkan dengan perjuangan untuk mengubah keadaan. Bersikap fatalis jelas bukan karakter seorang muslim. Allah Swt. berfirman,


 ????? ??????? ??? ????????? ??? ???????? ?????? ???????????? ??? ???????????????


“… Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka…” (QS Ar-Ra’du: 11).


Hanya saja, arah perubahan tidak boleh lagi hanya fokus pada perubahan orang, melainkan harus mengarah pada perubahan sistem kepemimpinan, yakni mewujudkan sistem kepemimpinan Islam. Sepanjang sistem bobrok demokrasi diterapkan, kehidupan tidak akan berubah dari yang terjadi sekarang. Bahkan lambat laun umat berjalan ke jurang kehancuran yang makin dalam.


Sistem kepemimpinan Islam yang disebut Khilafahtegak di atas kesadaran ruhiyah bahwa peran Allah dalam kehidupan tidak bisa dinafikan. Konsekuensi iman adalah taat kepada seluruh aturan Allah yang turun sebagai tuntunan kehidupan. Penerapan aturan Allah inilah yang akan menjamin terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan penuh keberkahan yang diimpikan.


Kekuasaan dalam sistem Islam hanya berfungsi sebagai penerap aturan-aturan Islam, bukan wasilah untuk meraih berbagai kepentingan. Para penguasanya menjalankan kepemimpinan dengan penuh kesadaran bahwa semuanya akan dipertanggungjawabkan. Mereka benar-benar memfungsikan diri sebagai pengurus dan penjaga rakyat sebagaimana yang diamanatkan.


Alhasil kekuasaan dalam Islam bukan ajang perburuan, apalagi dimanfaatkan sebagai ajang mencari kedudukan dan uang. Bagi para pemegangnya, amanah kekuasaan bisa menjadi sumber kebahagiaan hakiki dan sebaliknya bisa juga menjadi sesalan yang tiada henti.


Seorang muslim wajib menjadikan akidah dan syariat sebagai asas sekaligus standar berpikir dan beramal. Dengan bekal itu dan bekal pemahaman yang mendalam terkait hakikat demokrasi, mulai soal asas dan spiritnya hingga standar amal dan praktiknya, tentu akan mudah baginya memahami bahwa sistem ini bertentangan secara diametral dengan Islam.


Oleh karenanya, bagi seorang muslim, menolak demokrasi bukan lagi menjadi pilihan, tetapi merupakan sebuah kewajiban. Ia tidak akan pernah berharap bahwa dari sistem yang berselisih dengan Islam akan memberi kebaikan meskipun hanya sedikit.


Sungguh sejarah telah mencatat, sepanjang sistem Islam ditegakkan, umat Islam hidup dalam kebaikan dan kemuliaan. Penguasa dan rakyat dalam sistem Islam memfungsikan dirinya sesuai tuntutan syariat. Satu sama lain saling mengukuhkan dalam ketaatan semata-mata karena iman.


Betul bahwa ada masa-masa kelam dalam sejarah peradaban Islam. Namun, sejatinya kesalahan bukan ada pada sistem aturan Islam, melainkan justru karena para penguasa telah melakukan penyimpangan, sedangkan rakyatnya tidak menjalankan fungsi amar makruf nahi mungkar.


Tentu saja fakta ini menunjukkan sisi kemanusiaan sistem Islam yang memungkinkan salah dalam aspek penerapan. Hanya saja, keburukannya yang sedikit ini tidak akan pernah bisa menghapus kegemilangan sejarah peradaban Islam yang telah tegak pada masa yang sangat panjang dan diakui para sejarawan yang jujur pada ilmunya dan mencintai kebenaran. [MNews/SNA]