MELURUSKAN PEMAHAMAN “JIHAD QITAL” DALAM SYARIAT
MELURUSKAN PEMAHAMAN “JIHAD QITAL” DALAM SYARIAT
Penulis: Halima Noer
#MualimahNTBBersyariah — Moderasi beragama mendapatkan momen penguatan dengan terbitnya Perpres 58/2023. Setelah terbitnya Perpres ini, aktivitas pengarusan moderasi makin gencar dalam berbagai bentuk, seperti pelatihan, seminar, pendirian rumah moderasi, dan sebagainya, dengan melibatkan berbagai institusi yang ada.
Dalam rangka moderasi ini, sebagian pihak terus menyerang dan memutarbalikkan konsep-konsep Islam. Misalnya, konsep jihad qital (jihad yang bermakna perang) yang ada di buku-buku maupun media sosial, mereka curigai sebagai konten negatif yang berujung pada sikap intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Konsep jihad qital pun mereka tolak dan anggap sebagai ancaman bagi perdamaian.
Selanjutnya, mereka mengopinikan gambaran yang salah tentang jihad di tengah umat. Ada yang memaknai jihad sebagai upaya bersungguh-sungguh dalam menjalankan agama, seperti menuntut ilmu, mencari nafkah, membantu fakir miskin, menjaga lingkungan dari pencemaran, dan sebagainya. Lahirlah istilah “jihad ilmu”, “jihad sosial”, “jihad lingkungan”, dan semacamnya.
Ada juga yang mengartikan jihad sebagai peperangan yang bersifat defensif semata, yakni pembelaan diri ketika diserang. Bahkan, hal ini disandarkan pada Rasulullah saw. dengan mengatakan Rasulullah saw. tidak berperang, kecuali sekadar membela diri. Tentu semua ini harus diluruskan.
\ Meluruskan Makna Jihad /
Jihad dalam Islam telah diikat dengan lafaz mulia, yakni f? sab?lill?h (di jalan Allah). Alhasil, jihad terlepas dari berbagai kepentingan manusiawi, seperti kekuasaan, kekayaan, dendam, dan lainnya. Jihad di dalam Islam disyariatkan untuk mencapai tujuan-tujuan mulia yang telah ditetapkan Allah Swt, Sang Khalik, Sang Mudabbir, Sang Pembuat Syariat Yang Maha Bijaksana.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhshiyyah Islamiyyah jilid 2 menjelaskan definisi jihad adalah mencurahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung, atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan, dan lainnya. Dengan demikian, makna syar’i jihad adalah peperangan (al-qital) dan semua hal yang terkait dengannya, berupa pemikiran, ceramah, tulisan, strategi, dan lainnya.
Allah Swt. berfirman,
????????? ????????? ??? ??????????? ????????? ????? ??????????? ???????? ????? ???????????? ??? ??????? ??????? ??????????? ????? ?????????? ????? ???????? ???? ????????? ??????? ?????????? ??????? ???????? ??????????? ???? ???? ?????? ??????????
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada Hari Akhir. Mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak beragama dengan agama yang benar, (yaitu orang-orang) yang diberikan kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedangkan mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah [9]: 29).
Ayat ini menjadi dasar penetapan wajibnya jihad bermakna qital, dalam rangka menegakkan hukum Allah. Ketika kaum kafir masuk Islam, mereka tidak diperangi. Jika mereka menolak masuk Islam, mereka tidak boleh dipaksa. Hanya saja, mereka diminta untuk menerima berhukum dengan hukum Islam dalam urusan publik mereka dan membayar jizyah. Jika mereka menerima, hak dan kewajiban mereka akan disamakan dengan kaum muslim. Mereka tidak akan diperangi dan mendapat jaminan akan jiwa, harta, kehormatan, serta keyakinannya. Namun, jika menolak, mereka akan diperangi karena mereka akan menjadi penghalang diterapkannya hukum Islam secara totalitas.
\ Jihad f? Sab?lill?h, Kewajiban Mulia /
Jihad f? sab?lill?h hukumnya wajib dan termasuk aktivitas yang sangat mulia. Kemuliaan tersebut karena kemuliaan dari tujuan yang hendak dicapainya. Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil kewajiban yang mulia ini. Di antaranya adalah firman Allah Taala,
?????????????? ??????? ??? ??????? ???????? ????????? ???????? ??????? ??????? ? ?????? ?????????? ??????? ??????? ????? ??????????? ???????
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS Al-Anfal [8]: 39).
Dijelaskan dalam Tafsir Al-Muyassar terkait ayat ini, “Dan perangilah oleh kalian (wahai kaum mukminin), kaum musyrikin sampai tidak ada lagi kemusyrikan dan tindakan menutup jalan Allah, dan tidak ada yang disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, sehingga musibah akan terangkat dari hamba-hamba Allah di muka bumi, dan hingga agama, ketaatan, dan ibadah diperuntukkan bagi Allah semata, bukan kepada selain-Nya. Apabila mereka berhenti dari mengganggu kaum mukminin dan dari kemusyrikan kepada Allah, lalu mereka kembali menjadi pemeluk agama yang benar ini bersama kalian, maka sesungguhnya Allah tidaklah ada yang tersembunyi dari apa yang mereka perbuat, berupa meninggalkan kekafiran dan masuk ke dalam Islam.”
Allah Swt. berfirman di ayat lainnya.
?????? ?????????? ?????????? ?????? ?????? ??????? ? ????????? ??? ??????????? ???????? ?????? ?????? ??????? ? ????????? ??? ?????????? ???????? ?????? ????? ??????? ? ????????? ???????? ????????? ??? ???????????
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah [2]: 216).
Dijelaskan dalam Tafsir Al-Muyassar terkait ayat ini, “Allah telah mewajibkan kalian (wahai kaum mukminin), untuk memerangi orang-orang kafir, sedangkan perang itu perkara yang tidak kalian sukai secara naluri, lantaran berat dan banyaknya ancaman bahaya padanya. Namun, terkadang kalian membenci suatu perkara, padahal hakikatnya merupakan sesuatu yang lebih baik bagi kalian. Dan terkadang kalian menyukai sesuatu karena ada kesempatan bersantai atau kesenangan sementara, padahal perkara itu buruk bagi kalian. Allah mengetahui apa yang terbaik bagi kalian, sedangkan kalian tidak mengetahuinya. Maka bersegeralah untuk berjihad di jalan-Nya.”
Dari ayat-ayat di atas, tampak jelas bahwa yang dimaksud jihad f? sab?lill?h adalah jihad qital yang memiliki tujuan mulia. Misalnya, pada ayat pertama (QS Al-Anfal: 39) disebutkan tujuan mulia tersebut adalah agar tidak ada kekufuran dan agama Islam ini hanyalah bagi Allah. Artinya, hanya hukum Allah yang diterapkan bagi umat manusia. Alhasil, tujuan disyariatkannya jihad adalah untuk menghilangkan hambatan yang merintangi penerapan hukum Allah (hukum Islam) tersebut.
Sementara itu, hanya dengan penerapan hukum Islam dalam kehidupan manusia seluruhnya, maka umat manusia akan bisa menyaksikan kebenaran Islam dan keagungannya, serta mencapai kesejahteraan dan kemuliaan sehingga mereka akan menerima Islam tanpa terpaksa.
Sedangkan pada ayat kedua (QS Al-Baqarah: 216), Allah menjelaskan bahwa jihad adalah kebaikan, bahkan perkara yang terbaik bagi kaum muslim. Hanya saja, banyak di antara kaum muslim yang tidak menyukainya lantaran berat dan banyak ancaman bahaya padanya.
\ Jihad, Bukan Hanya Defensif (Bertahan) /
Masih banyak di antara umat Islam saat ini yang tidak paham bahwa jihad yang disyariatkan ada dua macam, yakni ofensif (menyerang) dan defensif (bertahan). Selain karena umat Islam jauh dari pemahaman agamanya, juga karena begitu masifnya moderasi beragama diaruskan di tengah umat dengan opini bahwa Islam adalah agama damai sehingga tidak mungkin menyerang terlebih dahulu. Ini jelas keliru.
Jihad ofensif adalah jihad yang bersifat menyerang, menaklukkan negeri-negeri yang menolak untuk menerapkan sistem Islam. Jihad ini dilakukan setelah diberikan tiga pilihan sebagaimana yang diterapkan Rasulullah saw., yaitu ditawarkan Islam. Jika menolak masuk Islam, mereka ditawarkan bergabung dengan Daulah Islam. Jika bersedia, mereka akan menjadi kafir zimi, mereka diminta membayar jizyah dan mendapat hak dan kewajiban sebagai warga negara Daulah Islam. Akan tetapi, jika tetap menolak, barulah mereka diperangi. Jadi, jihad ofensif adalah bagian dari pengembanan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Pelaksanaan jihad ofensif tentu saja harus dipimpin oleh seorang khalifah. Tatkala kekhalifahan belum tegak sebagaimana kondisi saat ini, maka jihad ofensif belum bisa dilakukan. Contoh jihad ofensif adalah serangan pasukan yang dipimpin Rasulullah saw. ke Hunain dan Tabuk. Perang Hunain adalah perang melawan kaum Badui dari Suku Hawazin dan Tsaqif pada 630 M atau 8 H, di salah satu jalan dari Makkah ke Thaif. Perang ini berakhir dengan kemenangan telak bagi kaum muslim.
Sedangkan Perang Tabuk merupakan perang antara tentara muslim melawan imperium Romawi. Perang ini terjadi pada Rajab 9 H dan berakhir pada Ramadan tahun yang sama. Kendati tidak sempat terjadi kontak fisik karena pasukan musuh menyerah sebelum bertempur, peperangan ini berlangsung selama 50 hari dengan pembagian 20 hari muslim berada di Tabuk dan 30 hari untuk menempuh perjalanan pulang-pergi dari Madinah ke Tabuk.
Lalu, apabila kita mempelajari sejarah, sepanjang sejarah kekhalifahan Islam, umat Islam di bawah pimpinan khalifahnya senantiasa melakukan jihad untuk menjadikan negeri-negeri yang menolak masuk Islam bersedia tunduk menerapkan syariat Islam. Persia, Syam, bahkan Konstantinopel ditundukkan dengan perang, dan ini bukanlah jihad defensif.
Hukum asal jihad ofensif adalah fardu kifayah. Ketika ada sebagian umat Islam telah melakukannya secara sempurna, gugurlah kewajiban bagi yang lainnya. Namun, ketika umat Islam di suatu wilayah diserang musuh, tanah mereka diduduki, dirampas, dan dibunuh, maka yang berlaku adalah hukum jihad defensif. Dalam kondisi seperti ini, hukum jihad qital menjadi fardu ain bagi setiap muslim di wilayah tersebut.
Di Palestina saat ini, misalnya, merupakan fardu ain bagi para penduduknya untuk jihad melawan Zionis Yahudi. Ketika penduduk Palestina tidak mampu—sebagaimana halnya saat ini—maka menjadi fardu kifayah bagi kaum muslim lainnya membantu, mulai dari wilayah yang terdekat sampai yang lebih jauh. Begitu pula kaum Muslim Uighur dan Rohingya, fardu ain bagi mereka untuk melakukan jihad dibantu kaum muslim di sekitarnya
\ Khatimah /
Dari sini maka jelas, jihad f? sab?lill?h yang Allah perintahkan adalah jihad qital. Oleh karenanya, memaknai jihad bukan dengan makna syar’i-nya, yaitu qital ‘perang’ melainkan dengan makna bahasanya (jaahada) ‘upaya bersungguh-sungguh dalam menjalankan ajaran agama, seperti menuntut ilmu, mencari nafkah, membantu fakir miskin, dan sebagainya’, seluruhnya adalah upaya pembelokan makna jihad.
Yang mereka sebut sebagai “jihad ilmu”, “jihad sosial”, “jihad lingkungan”, dan semisalnya, pada hakikatnya bukanlah jihad yang disyariatkan dalam Islam, sekalipun bukan berarti menafikan keberadaan syariat tersebut. Menuntut ilmu memang wajib bagi setiap muslim, tetapi tidak bisa disebut sebagai jihad ilmu. Demikian juga dengan mencari nafkah bagi kaum laki-laki, jelas hukumnya wajib, tetapi tidak bisa disebut sebagai jihad mencari nafkah. Demikian pula seterusnya.
Walakhir, penting bagi setiap muslim memiliki pemahaman yang benar tentang makna jihad yang disyariatkan Islam. Kesalahan memahami makna jihad bisa mengantarkan pada upaya menghapus syariat jihad dalam kehidupan kaum muslim. Ini sama saja dengan mengingkari hukum Allah, sesuatu yang mengantarkan pada kemurkaan Allah Taala. Semoga kita semua dijauhkan dari hal tersebut. Aamiin allahumma aamiin.
Sumber: muslimahnews.net
___________
Follow us:
Facebook: Muslimah NTB Bersyariah
Instagram: @muslimahntbbersyariah
Twitter: @muslimahntb2