Telunjuk Menikam Jari
Telunjuk Menikam Jari
7
Rasanya sakit sekali, melihat tubuh tua yang berjuang untuknya terkapar tak berdaya di atas kasur kapuk tipis.
Wati tak kuasa menahan tangisnya, melihat Mak Parmi menangis di sisi tubuh lemah Dhe Munir. Sejak dipaksa melanjutkan kerja dalam keadaan sakit, kondisi kesehatan Dhe Munir semakin memburuk. Bukan hanya sakit punggung, sekarang juga demam disertai batu-batuk. Dalam hitunga hari, tubuh tuanya semakin terlihat kurus.
“Bapak ke dokter, ya?” isak Wati di sisi pembaringan Dhe Munir.
“Jangan menghibur bapakmu, Nduk,” bisik Mak Parmi pedih. “Kita tahu, kita tidak bisa membawa Bapak pergi berobat.”
“Aku baru saja memenangkan lomba, Mak, dapat piala dan duit. Kita bisa bawa Bapak ke dokter.”
Dengan segenap kerelaan hatinya, Wati menyerahkan amplop putih yang diberikan panitia lomba kepadanya. Mak Parmi menyobek ujungnya, dan tangan tuanya yang gemetar mengeluarkan dua lembar ratusan ribu dari dalamnya.
“Dua ratus ribu, Ti?” desisnya tercekat.
“Iya, Mak, duit itu bisa digunakan untuk pergi ke dokter, sisanya buat beli beras sama lauk.”
Mak Parmi meraih tubuh anak sulungnya, membawanya dalam dekapan sambil terisak-isak. Hanya Wati yang bisa jadi tumpuan harapannya saat ini. Sudah berhari-heri sejak pingsan di ambang pintu usai pulang kerja, suaminya jatuh sakit, tidak dapat berangkat kerja.
Berkali-kali Joko datang sambil marah-marah, meminta Dhe Munir untuk kembali kerja, pria itu bahkan mengancam akan memecatnya, akan tetapi Mak Parmi tidak dapat berbuat banyak, ia tidak mungkin memaksa suaminya kerja dengan kondisi kesehatan yang buruk.
Sebagai ganti, Wati bekerja keras menjahit keset lebih banyak lagi untuk membeli beras agar keluarganya tetap bisa makan. Sedangkan anak bungsunya belum bisa diandalkan, ia masih terlalu kecil untuk mengerti kondisi keluarganya.
Sebagai anak yang cerdas dan berbakat, Wati juga aktif di sekolah, ia kerap kali dikirim mewakili sekolah untuk mngikuti banyak perlombaan. Mak Parmi sangat bangga padanya, akan tetapi tak jarang terbersit rasa sedih dan iba melihat kegigihan anaknya dalam membantu perekonomian keluarga.
Bukan hanya menjahit keset, Wati juga menggantikan sang bapak bekerja di benteng. Pekerjaan kasaran seperti menimba air dari sungai untuk menyiram, membersihkan rumput-rumput gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman, hingga menyangkul guna menggemburkan tanah semuanya dilakukan tanpa mengeluh.
Dari tanah benteng secuil itulah, Mak Parmi keluarganya bertahan hidup. Mereka tidak perlu membeli sayur untuk lauk, cukup memetik kacang panjang atau daun singkong dan ketelah yang bisa dijadikan lauk. Cabe dan tomat mereka menanam sendiri, hasilnya juga lumayan banyak. Mak Parmi hanya perlu memikirkan membeli beras, lauk seadanya yang penting perut kenyang, bisa ibadah dan bekerja.
Kemarin, Wati pamit pada Mak Parmi dan Dhe Munir, gadis itu mencium tangan mereka sambil memohon doa. Ia akan berangkat mengikuti lomba membaca puisi, dan hari ini Wati pulang membawa kemenangan, lantas mempersembahkan hadiahnya untuk orang tuanya.
Mak Parmi tak kuasa menahan tangis, erat-erat tangan tuanya memeluk Wati sambil berurai air mata.
“Matur nuwun, Nduk, kamu selalu menjadi penolong orang tuamu yang sudah tak berdaya ini,” isaknya.
“Jangan bilang begitu, Mak. Aku akan melakukan apa pun untuk Bapak dan Simak, semuanya untuk Bapak dan Simak.”
“Simak tidak pernah berhenti berdoa, Nduk, semoga kelak kamu jadi orang sukses yang bisa berguna untuk sesama, Allah angkat derajatmu sebagai balasan ketulusanmu pada Bapak daa Simak.”
“Aamiin,” balas Wati tersendat.
***
Pukul 7 sudah waktunya berangkat sekolah, Wati sudah siap dengan seragam OSIS kebanggaannya, ia memompa sepeda trondol yang ia gunakan untuk pulang-pergi ke sekolah. Adiknya, Bagus, pun sudah siap, tapi bocah kelas 1 SMP itu masih enggan berangkat, alasannya belum mendapat uang saku.
“Bagus tunggu sebentar, Simak tukar dulu uangnya ke tempat Lik Narto,” kata Mak Parmi, buru-buru meraih dompet bujur yang sudah lusuh dan mengeluarkan selembar seratus ribuan, kemudian berjalan cepat keluar rumah.
“Nih, pakai punya Mbak Wati dulu,” ujar Wati, menyodorkan empat koin lima ratus rupiah kepada adiknya. “Sana, berangkat, nanti telat!”
“Baik, Mbak!”
Bagus segera meraih ranselnya, lantas berlari keluar untuk berangkat sekolah menggunakan sepeda kecilnya. Wati melanjutkan pekerjaannya memompa ban sepeda yang satunya.
Setelah memastikan dua ban sepedanya terisi angin, Wati mengayuhnya ke rumah Narto untuk berpamitan pada Mak Parmi yang sedang menukar uang. Alangkah terkejutnya ia mendapati sang simak menangis tersedu-sedu di bawah makian kasar Maryam.
“Aku ini menukar, Mar, tidak minta,” tangis Mak Parmi.
“Halah! Itu hanya alasan saja! Orang miskin seperti sampean memang selalu merepotkan, jadi parasit untuk orang lain! Kalau memang melarat, harusnya sadar diri, tidak usah sok-sokan menyekolahkan anak tinggi-tinggi!” maki Maryam sembari menunjuk-nunjuk wajah Mak Parmi.
“Tanyakan pada suamimu kalau tidak percaya, Mar. Aku hanya nukar uang receh, Bagus mau berangkat ke sekolah, tapi uangnya gede. Aku tidak pernah minta-minta pada Narto.”
Namun, sang adik yang seharusnya memberikan penjelasan untuk menyelesaikan kemarahan istrinya, hanya diam saja.
“Alasannya saja nukar, padahal diam-diam supaya Mas Narto kasihan dan ngacih cuma-cuma, kan?” delik Maryam. “Lagi pula, dapat dari mana sampean duit ratusan ribu, wong Dhe Munir saja sudah berhari-hari nggak kerja! Jangan cari-cari alasan biar dikasihani!”
“Uangnya hasil menang lomba, Lik,” cetus Wati dengan bibir bergetar. Air matanya sudah mengambang di pelupuk, siap luruh hanya dengan satu kedipan mata. Sakit hatinya melihat simaknya dimaki-maki seperti itu. “Kami memang miskin, tapi kami pantang meminta belas kasihan pada orang lain, walaupun kepada lik kami sendiri.”
“Nduk, kamu kemari?” Mak Parmi menjangkau lengan Wati, berusaha agar ia tidak ikut campur. Namun, Wati sudah lelah, ia tidak bisa menerima simaknya direndahkan oleh istri liknya.
“Kami memang miskin, tapi bukan berarti Lik Maryam bisa menghina-hina kami seperti ini. Kami tidak pernah meminta-minta, aku sekolah juga berjuang sendiri. Bapak juga bekerja, tidak memita belas kasihan secara cuma-cuma. Tidak seharusnya Lik Maryam berkata-kata yang menyakiti Simak.”
“Kamu anak kecil tahu apa, Ti,” desis Maryam. “Tidak usah ikut campur urusan orang dewasa!”
“Lik Maryam boleh menghinaku, kata-katai aku sepuas Lik Maryam, tapi aku tidak akan membiarkan Lik Maryam menghina Simak!”
“Nduk, wes, jangan menambah masalah,” bisik Mak Parmi.
“Nggak bisa, Mak! Sesekali aku harus berada di depan Simak, menghadapi orang-orang yang merasa pantas menghina kita!” Air mata Wati luruh, ia menggigit bibir menahan isakannya. "Tolong, dicatat baik-baik, Lik Maryam, roda kehidupan itu berputar. Aku tidak akan menyumpahi Lik Maryam jatuh miskin, kudoakan kalian hidup makmur selamanya agar tidak merasakan kesusahan yang dialami Simak dan Bapak, tapi segala perbuatan itu biasanya akan mendapatkan balasan. Hari ini mungkin Lik Maryam tidak membutuhkan kami dan bebas menghina kami, tapi aku bersumpah atas nama Allah, kelak Lik Maryam dan Lik Narto membutuhkan bantuan kami, kami tidak akan pernah menolak apa lagi menghina kalian.”
“Nduk—“
“Kita pulang, yuk, Mak,” ajaknya, meraih lengan Mak Parmi dan menuntunnya pulang.
“Wati,” panggil Narto yang sejak tadi hanya diam, tidak berusaha membela mbak kandungnya.
Wati menghentikan langkah, menoleh dan tersenyum dari balik air matanya. “Sampai kapan pun sampean tetap likku, tapi jangan kahwatir, aku dan Simak tidak akan menyusahkan, apa lagi menjadi parasit seperti yang dituduhkan Lik Maryam.”
Narto terpekur, mulutnya yang sudah terbuka hendak mengatakan sesuatu segera terkatup kembali.
Bersambung …
Puspa Markhip