Mantan Mertua dan Mantan Suami
KEPONAKAN MANTAN MERTUA ME1AMARKU DI ACARA PERNIKAHAN MANTAN SUAMI. MANTAN MERTUA DAN MAMTAN SUAMI SH0_CK SEKETIKA
#2
Semua mata terletak pada Vena yang berada sangat jauh dari panggung. Vena berada di antara ibu-ibu yang dikenalnya.
"Ven, Vena?" gumam Ibu Ramita sebelum akhirnya pingsan.
Semua orang kembali ribut. Sedangkan Witri dan Guna terlihat sy ok hingga tak mengindahkan ibu terkapar di panggung yang terbuat dari susunan papan itu. Kedua kakak beradik itu antara percaya dan tidak bahwa nama yang disebut Arwan memang benar Vena.
Beberapa detik ping5an, Ibu Ramita bangun sambil memijit pelipis. Kondeknya rus ak.
“Vena?” gumamnya lagi, berusaha berdiri. "Vena? Bukankah Vena?"
“Ibu?” Witri baru menyadari ibunya perlunya bantuan.
"Seperti mimpi." Ibu Ramita masih memijit pelipis.
“Ini tidak mimpi Tante,” sahut Arwan.
Pria berjas hitam itu tersenyum ke arah Vena yang juga membalas senyumannya. Mereka seperti sepasang kekasih yang saling mencintai. Senyum keduanya sangat manis hingga membuat ibu-ibu di dekat Vena saling berbisik.
"Vena, ini benar? Kamu dilamar sepupu mantanmu?" Sese-ibu yang merupakan tetangga dekat Ibu Ramita bertanya pada Vena.
“Seperti yang Ibu dengar. Ya, saya dilamar,” gumam Vena.
Senyumnya tak pudar. Bukan karena bahagia dilamar pria tampan dari kota itu, tapi karena merasa senang melihat kehancuran hati keluarga mantan suami.
Di sana keluarga Guna memandangnya penuh benci. Dan Vena sangat suka ekspresi tersebut. Ia memang menantikan momen ini. Momen hancurnya hati keluarga sombong itu.
"Wan, ini tidak benar 'kan? Kamu bercanda 'kan Nak?"
Ibu Ramita mendekati Arwan—keponakannya—anak dari kakaknya yaitu Darman Suganda. Meski sudah mendapat jawaban, tapi dia masih belum puas. Ibu Ramita masih berharap Arwan akan memberikan jawaban yang berbeda, yang ia harapkan.
"Kamu sudah g*la?! Katakan ini tidak benar!" Guna tersulut emosi, napasnya memburu. Tangannya mengepal keras.
“Jawab Mas Arwan, jangan diam aja!” timpal Witri, berharap yang didengarnya hanyalah sebuah mimpi yang tak akan menjadi nyata.
Mereka tak sabaran menunggu jawaban. Harap-harap cemas, ketiganya tak ingin jika yang didengarnya benar adanya. Mereka tidak ingin hal itu terjadi. Jika Arwan akan menjadikan Vena sebagai istri, itu artinya Vena akan menjadi nyonya di rumah besar Arwan. Keluarga Ibu Ramita tidak bisa leluasa ke sana menikmati fasilitas mevvah milik Arwan. Membayangkan itu, dua wanita yang lebih mementingkan har#a daripada segalanya tampak nyaman.
"Mas Arwan, kok diam saja? Mas bercanda 'kan?" ulang Witri, penuh harap.
Pria bernama Arwan itu masih mengingatnya. Ia menatap ke arah Vena yang sedang berjalan ke arahnya. Sejurus kemudian beralih menatap keluarganya.
"Maaf, tapi seperti yang saya katakan sebelum acara pernikahan berlangsung. Ini nyata. Saya menginginkan seorang wanita dari desa untuk kujadikan pendamping dan saya lebih tertarik pada Vena mantan istri Guna," jelas Arwan.
"Berani-beraninya kamu!" geram Guna, nyaris memukul Arwan. Untung saja menahan Ibu Ramita. Kalau tidak, mungkin Arwan sudah kena pukul.
"Loh, kenapa harus marah? Vena bukan siapa-siapamu bukan?" balas Arwan, tegas sambil memperbaiki posisi jasnya sebab ditarik Guna tahan.
Pesta pun menjadi kaya. Para tamu yang hadir pada mengeluarkan jurus pamungkasnya terutama ibu-ibu. Bukan lagi bisik membisik, tapi suara mereka terdengar jelas membicarakan keluarga Ibu Ramita.
“Lah, si Guna marah, itu artinya dia masih cinta sama Vena.”
“Iya, jadi kasihan sama istrinya.”
"Acaranya, kok jadi begini?"
"Itu pemuda kota ngapain juga merusak acara orang? Kayak tak punya tempat lain untuk melamar. Contohnya mendatangi rumah Vena." Salah satu di antara ibu-ibu itu mengeluarkan pendapatnya. Ia menganggap Arwan perusak suasana bahagia sepupunya sendiri.
"Saya rasa mereka sekeluarga sudah merencanakannya. Saya, sih tak memihak siapa-siapa. Mendingan pulang. Sudah dandan cantik begini sia-sia!" omelnya sambil berjalan ke arah pintu keluar.
"Bodoh amat. Saya lapar, mendingan pergi makan."
"Ya, saya juga. Mari kita makan sambil menonton tontonan gratis. Ini langkah tahu."
Sebagian ibu-ibu makan sambil menggosip, sebagian lagi mengambil kesempatan untuk membungkus lauk. Mereka ini seperti sudah menyiapkan plastik dari rumah. Langsung saja memasukkan lauk mana yang mereka sukai.
Sementara di panggung suasana semakin ricuh, Vena tersenyum sinis sebelum naik ke panggung tersebut karena dipanggil oleh Arwan buat kedua kalinya.
"Kamu!" geram Witri. Ia sangat ingin menjambak rambut panjang Vena yang terurai indah.
“Witri, tolong jaga sikap!” tegur Arwan.
Anehnya, Witri tampak takut dan langsung menunduk. Ia seolah berada di bawah telunjuknya.
Arwan mengeluarkan cincin lamaran dan langsung menyematkan di jari manis Vena. Saat itu juga Guna mengamuk. Tempat amplop dibanting di atas panggung. Untung saja tidak sampai rusak hingga isinya tak berhamburan.
'Sepertinya benar, Mas Guna masih mencintai wanita itu. Apa jadinya kalau saya dan Mas Guna seatap? Siapkah saya tiap hari makan hati karena tak dicintai?'
Larima yang sedari tadi menyaksikan kericuhan itu, tak bisa menahan air mata. Ia sangat sedih menyadari ternyata akan sangat sulit mengambil hati Guna.
Witri dan Ibu Ramita tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa diam menyaksikan semuanya dengan perasaan yang tak suka. Sedangkan para tamu undangan kebanyakan sudah pergi tanpa pamit. Sebagian menc0_mot makanan dan dimakannya sambil jalan.
Suara mereka seperti suara segerombolan kerbau berlarian memekakkan telinga, sangat ribut.
"Cincinnya bagus Mas. Terima kasih ya. Saya suka." Vena sengaja melebarkan intonasi suara untuk memperdengarkan pada Guna dan terutama pada Witri dan Ibu Ramita.
"Sama-sama." Arwan tersenyum lalu mendekat ke arah Ibu Ramita. "Saya minta maaf atas semuanya Tante. Saya tidak bermaksud merusak acara ini. Tante sendiri yang mengizinkan saya melamar seseorang."
"Tapi kamu tidak memberitahu kami wanita yang kamu maksud!" geram Guna, menatap tajam sepupunya.
"Saya pikir tidak akan jadi masalah. Kamu dan Vena sudah c3/rai. Kamu sendiri yang menceraikannya langsung. Salahkah saya melamarnya?" Arwan tak mau kalah. Ia lalu mengajak Vena pergi.
Pria itu turun panggung dan langsung keluar. Sedangkan Vena masih berdiri di sana sambil menatap satu per satu mata orang-orang yang pernah meny@_kiti hatinya.
“Bagaimana Bu? Mas Guna bahagia bukan?” bisik Vena tepat di dekat telinga Ibu Ramita. Ia lalu pergi, meninggalkan Ibu Ramita yang memegang dada karena masih syok.
Bersambung
Baca selengkapnya di Aplikasi KBM.
Judul : DILAMAR DI ACARA PERNIKAHAN MANTAN
Penulis : Akhtaria Syafiura
(***)