Guling Warisan Kakek
GUL1NG W4R1S4N KAKEK
oleh: Ciayo Indah
Bagian 2
"Baru sebentar ditinggal kalian sudah lari terbirit-birit dari rumah kakek, bagaimana kita mau tinggal di sana?" tanya bapak, duduk di depan aku dan ibu yang masih terengah-engah, menjatuhkan diri di atas ambal lusuh ruang tamu kami yang tak banyak menyimpan perabotan.
“Sudahlah, rum@h kakek saja yang kita s#wa-kan, kita tetap tinggal di rumah ini, biar kecil tapi tenang, hah…haaah,” seru ibu masih terengah-engah.
"Gak bisa, Bu! rumah ini sudah dib@¥ar muka sama Lik Azli, di5ewanya selama dua tahun, dia akan langsung pindah kalau kita sudah pindahan ke depan, rumah ini udah dib@<yarnya sebagian dan sudah habis buat memperbaiki mesin traktor kita yang rusak," jelas bapak, ibu yang terangah-tengah membeliak marah.
"Apa?!" serunya.
"Iiiihhhh!" geramnya, menj@mbak rambut bapakku, hingga lelaki yang hampir separuh baya itu merunduk sangking ker@snya j@<mbakan ibu.
“Tega, bapak selalu bertindak sendiri!” serunya bangkit, melangkah masuk kamar, dan membanting pintunya.
"Malam ini bapak saja yang tidur sendiri di rum4h angk3r itu!" teriak ibu dari dalam kamar, ternyata diam-diam ibu juga ngerasa kalau rumah kakek angker.
Kulihat bapak hempas, duduk lo ¥o di depanku.
Aku tak mengerti, bapak kenapaku yang galak itu, suka pasrah tiap kali ibu meng@muk. Adegan bentrokan mereka sudah kuhafal dengan benar, sejak aku kecil dulu. Biasanya, ibu akan mengunci di luar kamar dan membiarkan tidur di ruang tamu selama berhari-hari, sampai am@rahnya reda dengan sendirinya.
“Cepat sholatlah, Sri! setelah itu kita cari adikmu Adi, ketiganya kita bereskan rumah kakek!” perintah bapak, saya yang mengernyit sambil menggeleng.
"Sudah jangan membantah!" bentak bapak, lalu aku terpaksa bangkit dan berwudhu.
"Beraninya sama anak sendiri!" cetusku, sambil berlalu. Usai sholat, kulihat bapak menungguku di teras sambil menghisap rokoknya. Bapakku itu, paling tegas menyuruh kami sholat, padahal dia sendiri sholatnya masih tergantung mood, kalau perasaannya sedang tak galau baru ia sholat.
Aku mengetuk pintu kamar ibu, mengingatkannya untuk sholat, ibu keluar dengan wajah dinginnya, melirik ke pintu depan, melihat asap rokok bapak yang mengepul melewati pintu depan rumah yang terbuka.
"Ngomong war15_an aja yang sok bijaksana, giliran suruh kirim doa, males-malesan!" sindir ibu sambil berlalu ke kamar mandi.
Kulihat pergerakan bapak, ia hanya diam saja menghisap rokoknya, enggan menimpali sindiran ibu.
Aku lalu berjalan keluar, mendekati bapak yang kemudian menarik diri.
"Magrib-magrib begini gentayangan kemana si Adi? Coba telpon, Sri!" seru bapak, menyerahkan hp kwaci miliknya, yang ia beli dua tahun yang lalu. Aku menerima hp itu, lalu menekan nomor hp Adi.
Adikku yang baru kelas satu SMA itu saja sudah punya hp dan lebih canggih dari punya bapak. Sempat ada keinginan di hatiku membeli hp, meskipun second, tapi lalu aku urung. Belum punya hape saja, banyak anak lelaki yang sibuk menanyai nomorku, apalagi kalau aku punya.
Melihat gaya pergaulan dan berpacaran teman-temanku, aku ngeri sendiri.
[Iya, nih aku nyusul ke rumah kakek!] seru Adi, sengaja ucapannya yang terakhir ku speaker, biar bapak dengar sendiri.
Kami lalu melangkah beriringan, menyusuri jalan setapak yang akan segera melewati samping rumah kakek. Rumah kami memang terletak tak jauh di belakang rumah kakek, hanya dipisahkan oleh sawah sepuluh rante yang kini diwariskan salah satu adik bapak.
Udara dingin dan suara kodok serta jangkrik yang bersahut-sahutan, membangkitkan lagi remang di kudukku, saat melihat bayangan gelap rumah kakek semakin dekat.
"Bisa-bisanya kalian meninggalkan rumah ini dengan pintu belakang terbuka lebar, kalau perabotannya hilang, kan sayang?" cetus bapak, saat kami berdua sudah sampai, masuk lewat pintu belakang.
Tak lama suara sepeda Adi terdengar, juga berhenti di halaman belakang dapur. Bapak segera menyalakan lampu untuk dapur dan teras belakang. Perlahan aku melangkah masuk, mengutip dandang di lantai yang tadi di lempar ibu.
"Apa sih, yang kalian takuti? Rumah ini kan sudah beberapa hari dingajiin, ramai pula yang menginap, kenapa sekarang jadi kucur begitu?" omel bapak. Melangkah ke depan, sementara aku melanjutkan cucian piring ibu tadi. Adi yang melewatiku, hendak menyusul bapak, segera kutarik kerah bajunya.
"Tungguin aku!" cetusku.
"Eleh ..."serunya, lalu duduk di kursi makan, membuka-buka hp.
Aku diam termangu sembari tanganku sibuk mencuci piring. Dalam hati aku menyesali, mengapa bapak tak mengambil sawah, ladang atau tambak saja sebagai warisannya, tentu akan lebih menghasilkan uang daripada rumah besar ini.
"Mbak tenang saja, bapak tetap dapat upah dari sawah, ladang, dan tambak milik palik dan bulik, bapak itu licik, rumah inikan jauh lebih besar nilainya, ditambah lagi bapak tetap mendapat bonus mewariskan semua perabotan ini di dalamnya, hehehehe!" jawab Adi, yang seolah mendengar pertanyaan yang tercetus dalam pikiranku.
"Setahun lagi, usai Mbak selesai SMA, kata bapak, ia akan menggelar pesta mewah di rumah ini, bapak akan menikahkanmu dengan pesta yang meriah, dan tentu saja bukan dengan lelaki sembarangan. Katanya, ini adalah harga diri bapak, bapak akan buktikan kalau kita bukan orang susah, melainkan anak dari tuan tanah almarhum Harso, hahahaha!" Adi bicara sendiri dan terkekeh sendiri, sembari jemari tangannya memainkan game di hp.
Aku hanya diam menghela nafas, hati kecilku menolak menikah cepat, aku masih kepingin kuliah. Tapi, biarlah tak usah kusanggah dulu keinginan bapak, toh itu masih lama.
"Cepat kau bantu aku menyusun semua perkakas ini!" seruku pada Adi, ingin segera cepat selesai. Tapi adikku itu pura-pura tak mendengar.
"Hei kalian berdua, coba kemari!" Jerit bapak dari arah depan. Aku terpaksa membilas tanganku, dan bangkit dari sepetak tempat mencuci piring dimana masih sangat banyak perkakas yang menumpuk dan belum kucuci.
Setengah berlari, kususul Adi yang berjalan mendahului. Melewati lorong kamar-kamar, aku menahan diri dari tak menoleh kamar kakek.
"Apa kalian juga dengar itu?" tanya bapak, berdiri di ruang tengah.
"Suara apa, Pak?" tanya Adi, bingung. Begitupun aku, jika sore tadi aku mendengar suara perempuan menangis, kali ini aku tak mendengar suara apapun, hanya lengang.
"Ini jelas sekali, suara perempuan, tertawa-tawa ... tadi juga, suara itu memanggil-manggil ... nama bapak," seru bapakku, raut wajahnya bingung.
"Apa?!" Aku dan Adi serentak bilang 'apa'. Kami berdua tahu, bapak gak mungkin bohong kalau sudah soal mistis, masalahnya selama ini, bapak saja tak percaya dan menganggap hal seperti itu hanyalah lelucon.
Bapak lalu melangkah, menuju lorong kamar-kamar. Aku dan Adi mengikutinya di belakang.
"Coba periksa satu persatu kamar-kamar ini!" seru bapak, tapi antara aku dan adikku, tak ada yang menggubris, kami berdua tetap setia mengekor bapak di belakang.
Ia memeriksa dari sepasang kamar di barisan paling depan, masuk ke dalamnya, menyibak tirai jendela dan membuka tutup lemari, lalu berjalan keluar setelah menyalakan lampu, diikuti aku dan juga Adi. Begitupun kamar di depannya, hal yang sama di lakukan bapak.
Aku baru enggan melangkah saat bapak menuju kamar almarhum kakek. Kutarik lengan adikku Adi, dari raut mukanya, adikku itu juga takut, sejak tadi hanya mengekor, sama sepertiku.
"Pesstt, tadi sore aku mendengar suara perempuan menangis, dari kamar kakek!" Bisikku di samping Adi.
"Apa Mbak?!" tanyanya, membeliak tak menyangka.
"Jangan nakutin, ah!" sentalnya, melepaskan tanganku yang mencengkeram pundaknya, lalu berjalan cepat menyusul bapak. Aku pun mau tak mau mengikuti.
Berbeda dengan dua kamar yang sudah diperiksa sebelumnya, untuk kamar ini, bapak membukanya perlahan, dorongannya terhenti saat pintu baru terbuka setengah.
Ada yang mengganjal pintu.
Bapak mengintip ke dalam lalu bernafas lega, dan mendorong kuat pintu. Ternyata itu bantal guling, tergeletak di lantai, menghalangi pintu.
"Kok bisa, ada bantal guling di sini ya," seru bapak.
"Iya, aneh!" jawab Adi, ia mengangkat bantal guling kakek itu, lalu berkomentar lagi,
"Ih, wangi banget nih guling! Kayak disiram parfum seribu bunga! Hahahaha!" serunya, terbahak.
Aku yang masih termangu di depan pintu kamar kakek, entah mengapa mendadak merinding sebadan. Pikiranku melayang di peristiwa sore tadi, mengapa guling itu bisa sampai di depan pintu?
“Barangkali, sepupu-sepupu kalian ada yang usil bermain di kamar kakek,” seru bapak, seolah menjawab pertanyaan besar di kepalaku.
Bapak kemudian memeriksa kolong, lemari dan jendela, lalu berjalan cepat keluar dan menutup pintu kamar, sambil membawa guling, dalam gendongannya.
“Kok, dibawa sih, Pak?” tanyaku, bingung.
"Gapapa, guling harum ini, biar menemani tidur bapak di ruang tamu rumah kita. Kau kan tahu sendiri, kalau ibumu sedang marah, jangankan dikasih masuk, bantal saja ga dikasih!" jawab bapak, ia meletakkan sementara bantal guling itu di kursi goyang kakek, baru kemudian memeriksa lagi kamar yang lainnya.
Setelahnya, bapak menyuruhku dan Adi melanjutkan menyuci piring, sedang ia menunggu kami berdua sambil menonton tv di ruang tengah, bapak duduk di kursi goyang, seraya memeluk bantal guling dari kamar kakek, yang berpikir agak aneh dengan aroma wanginya yang menyengat.
Pukul sepuluh malam, kami memutuskan pulang, setelah mengunci semua pintu dan jendela. Bapak menyuruhku ikut saja dalam boncengan sepeda Adi, sementara ia melenggang sambil membawa bantal guling kakek di pundaknya, berjalan sendiri menuju rumah kami.
"Mbak, kamu ngerasa meri nding gak sih dengan guling itu? Aromanya itu loh, kheeerrrr!" seru Adi, bergidik sambil satu tangan yang bekas memegang bantal tadi berusaha di arahkannya ke mukaku, hingga sepeda yang ia kayuh oleng.
Aroma yang tertinggal memang bikin merinding.
“Lagipula, itukan pasti guling yang selama ini dipeluk kakek…menemani kakek tidur, kok bapak santai aja ya?” timpal Adi lagi.
Aku menoleh ke belakang, ke arah bapak yang berjalan di jalan gelap barisan sambil bersiul, satu tangan memegang puntung r0_kok, sementara tangan yang lain mem3_luk guling di pundaknya.
Entah mengapa bantal guling dengan kain sarung berwarna pink itu, sekilas terlihat,
seperti bapak sedang membopong seorang w4nita di bahunya.
Bersambung
Baca selengkapnya hanya di Aplikasi KBM
(***)