Antara Bos dan Mantan
BOSKU ADALAH MANTANKU YANG PERNAH MENALAKKU DI M4LAM PERT4MA
7
“Kalian membicarakanku?” sergah Alvin masih berdiri di tempat yang sama.
Maya tampak menegang, mendekatkan tubuhnya pada Arin sambil berbisik, “Minta maaf, gih. Pak Mario mungkin mendengar kamu mengumpatnya tadi.”
“Ogah. Kamu sendiri sana yang minta maaf," tolak Arin.
“Heh, aku ada di sini. Nggak sopan kalian ya, ada atasan malah dicuekin.” Alvin mengomel.
Didekati dua bawahan yang duduk sama-sama menunduk. Maya memejam sambil terus berdoa demi keselamatan pekerjaannya. Sementara Arin tetap tertunduk tetapi bukan karena takut. Ia malas menunjukkan wajahnya ke arah lelaki yang kini telah berdiri tepat di depan meja kerjanya.
“Maaf, Pak. Saya mengaku salah.” Aku Maya.
“Bukan kamu, tapi teman kamu itu yang mengumpati saya,” jawab Alvin.
“Rin.” Maya menyenggol lengan Arin. “Minta maaf cepat sebelum tamat riwayat kita.”
“Apa sih!” ketus Arin tak mengakui kesalahannya.
“Tidak, Rin. Buruan.”
“Enggak. Orang aku nggak salah,” jawab Arin membangkang.
“Heh, kamu siapa namanya?” Alvin menunjuk Maya.
“S-saya Maya, Pak,” jawab Maya tergagap.
“Oke, Maya, kamu bisa tinggalkan kami berdua?”
Maya mengangguk cepat. Ia berdiri meninggalkan Arin yang menatap kebingungan.
“Kenapa temanku disuruh pergi?” protesnya.
“Kamu mau protes ke saya, Bu Arin?” Kini, Alvin duduk di atas meja kerja satu-satunya wanita yang tersisa di ruangan itu.
“Untuk apa aku protes? Silakan Bapak mau melakukan apa ke saya,” tantangnya.
“Benaran saya boleh melakukan apa saja? Saya tadi dengar kamu mengatai saya seperti jelangkung loh. Kamu tidak bermaksud meminta maaf.”
Arin kesal, membuang muka tanpa ingin mengeluarkan kata-kata sebagai jawaban.
“Arin, bicaralah.”
Hati sudah tertutup oleh rasa benci yang begitu besar sehingga apapun perintah Alvin, tidak mampu menembus benteng pertahanannya yang kokoh. Arin tetap membisu. Itu sudah menjadi keputusannya.
“Baiklah kalau kamu masih tidak mau ngomong. Aku bisa mengerti.” Akhirnya Alvin menyerah.
Ia kembali berdiri. Untuk beberapa saat menunggu andai Arin berubah pikiran dan mau mengeluarkan suara. Hingga seorang karyawan datang mencarinya, Arin keukeh bungkam.
“Pak Mario, Pak Dito sudah selesai rapat-nya.”
Gegas meninggalkan ruangan Arin dengan berat hati. Ia sempat menoleh untuk memastikan bahwa pikiran Arin akan berubah.
“Nomorku masih nomor yang lama. Kamu bisa menghubungiku jika butuh bantuan apa pun.” Alvin melangkah pergi. Benar-benar ke luar dan tidak menampakkan diri lagi.
“Cih, siapa yang mau meminta bantuanmu? Biarpun di dunia ini hanya ada kamu dan aku, nggak akan sudi aku meminta bantuanmu.” Buah dari sakit hati adalah balas dendam. Arin memilih cara pengabaian yang menyakitkan daripada membalas dengan c@ cian dan ump@ tan.Baginya, apa yang diterima lelaki itu tidak seberapa sakit atas derita yang pernah ia rasakan karena mendapat perlakuan tak adil darinya.
.
Alvin masuk ke ruangan Dito. Sebelumnya, ia menunggu lelaki itu sedang meeting. Untuk itulah ia iseng mengelilingi kantor, dan secara kebetulan menemukan Arin di salah satu ruangan. Tanpa sengaja mendengar percakapan Arin dengan Maya. Tak menyangka jika Arin sangat membencinya.
“Halo Pak bos. Akhirnya datang kemari lagi,” sapa Dito pada atasan sekaligus sahabatnya.
“Sepertinya kantormu ini sekarang lebih menarik daripada kantor pusat. Saya jadi betah di sini.” Alvin berkelakar, membuat pengakuan yang jujur.
“Ada magnet yang menarik hati sepertinya.” Dito mengajak duduk Alvin pada sofa. Sementara ia mengambil sesuatu dari dalam laci kemudian menyerahkannya pada Alvin.
“Arinda Ramadhani nama lengkapnya. Dia karyawan titipan dari orang sebelah,” ucap Dito. Alvin mengernyit. Ia paham istilah karyawan titipan, berarti ada seseorang yang menjadi penguat hingga Arin ada di posisi saat ini.
“Siapa yang membawanya?” tanya Alvin.
“Pak Haryadi, salah satu pemilik saham di perusahaan ini. Pak Mario pasti mengenalnya.”
“Pak Haryadi. Ya, aku jelas mengenalnya. Apa hubungan Arin dengan pak Haryadi? Perasaan nggak ada hubungan keluarga, deh.”
“Saya sendiri kurang tau apa hubungan mereka berdua. Hanya saja, anaknya pak Haryadi sering datang kemari. Bahkan terbilang dekat dengan Arin.”
“An@ knya? Siapa?”
“Namanya Akbar. Kalau nggak salah belum lama lulus dari luar negeri.”
“Akbar.” Alvin jadi teringat kejadian semalam dengan nama Akbar, nama yang sama dengan laki-laki yang datang bersama Arin.
“Ya, sepertinya saya tau laki-laki itu,” gumam Alvin.
“Kalau saya boleh tau, ada hubungan apa antara Pak Mario dengan Arin. Sepertinya kok, terlibat hubungan yang rumit.” Dito memberanikan diri untuk bertanya.
“Oh, nggak ada hubungan apa-apa. Kebetulan saya dan Arin berasal dari kota yang sama.” Hampir saja Alvin kehilangan akal. Beruntung segera teringat jika dirinya dengan sang mantan memang berasal dari kota kelahiran yang sama.
“Masa, sih?”
“Ya ... lihat saja tempat k3 l@ hiran Arin pasti sama dengan tempat kelahiranku.”
“Maksud saya, masa segitu pentingnya diri Arin bagi seorang Pak Mario hanya karena berasal dari satu kota kel@hiran? Saya dengan Maya, temannya Arin itupun berasal dari satu kota yang sama. Tapi saya tidak menganggap Maya segitu pentingnya sampai-sampai harus tau Maya ngapain aja atau mesti tau juga orang-orang yang ada didekatnya. Sama juga Maya terhadap saya. Dia—“
“Oke-oke. Saya paham maksudnya itu. Nggak perlu diperjelas lagi,” sahut Alvin memotong ucapan Dito.
“Nah, iya itu maksud saya. Arin ini pasti bukan orang lain kan? Kalau bukan saudara, pasti dia orang istimewa.”
Tebakan Dito tak meleset. Arin memang orang dekatnya. Akan tetapi tetap saja orang lain.
“Hai, Bung. Jangan-jangan, dia calon ibu dari—“
“Bukan.” Alvin cepat memotong. “Dia itu ... Arin itu bagian dari masa lalu yang selama ini terlupakan,” imbuhnya berbelit membuat Dito berpikir sejenak lalu tiba-tiba berteriak histeris.
“Dia mantan istri—“
“Ssst ... jangan keras-keras!” kec@m Alvin hampir berdiri dan membun6 kam mv lut rekannya. Dengan mulut yang masih menganga, Dito berpindah tempat ke samping Alvin.
“Saya nggak percaya. Nggak mungkin Arin adalah mantan istri Pak Mario.” Lelaki yang hampir menginjak usia 40 tahun itu menolak informasi yang dibagikan oleh Alvin.
Sementara itu, Alvin mengedihkan bahu, bersikap biasa saja dengan raut wajah yang datar.
“Oh ... no! Ini bakal menjadi 6osip terp@nas di kantor ini.”
“Jangan macam-macam. Jangan sampai orang lain tau Arin adalah mantan istriku. Dia bisa nggak nyaman dengan situasi itu.” Alvin kembali mengecam.
“Tapi kalian sudah mantan. Bukankah itu nggak akan pengaruh apa-apa? Apalagi Anda sudah memiliki Nona Novi dan Arin mungkin sedang dekat dengan Akbar. Kenapa mesti takut gosip itu beredar?”
“Masalahnya tidak sesederhana itu. Arin bisa marah kalau status kami diketahui oleh orang- orang kantor.”
“Arin atau Anda. Jangan-jangan, yang tidak bisa berdamai dengan masa lalu itu diri Pak Mario sendiri.”
“Hais, kenapa menebak asal begitu? Apa saya kelihatan seperti seorang jomlo yang mengharapkan pacar?”
“Saya nggak tau yang Pak Mario rasakan. Tapi kalau posisi Arin sih saya bisa merasakannya. Arin itu salah satu karyawan saya yang paling pendiam, nggak banyak tingkah. Pokoknya lurus-lurus saja hidupnya. Makanya, dia banyak didekati sama karyawan laki-laki di sini. Dengar-dengar, kepala bagian keu@_ngan juga naksir Arin. Duda tajir anak satu yang kerap mengirimkan makan siang ke Arin. Gosip saja sih. Saya juga belum pernah melihat si duda ini kepergok secara langsung bersama dengan Arin.”
Ucapan Dito tentang diri Arin itu, sontak membuat Alvin kesal. Belum mendapat kesempatan mendekatkan Arin untuk meminta maaf, ternyata sudah banyak laki-laki lain yang mendekati mantan istrinya.
“Kalau begitu, saya akan membawa Arin bersama saya,” celetuknya tampak bersungguh- sungguh. Hal itu membuat Dito mengernyitkan dahi.
“Mau dinikahi?” tebak Dito.
“Eh, bukan. Itu terlalu berani. Saya perlu pendekatan dan ... dan meminta maaf padanya. Pokoknya, Arin akan saya bawa ke Kantor pusat biar lebih aman.”
“Aman? Aman dari siapa? Di sini pun dia sudah aman.”
“Aman dari para buaya.” Alvin membuka map yang berisi catatan karyawan. Di sana terpampang nama Arin lengkap dengan biodata pribadi.
"Maksudnya apa ini? Saya mendapat perintah atau Bapak yang akan bergerak sendiri?" tanya Dito kebingungan. Menghadapi atasan dalam keadaan galau, dirinya juga ikut dibuat bingung.
"Saya yang akan bergerak sendiri." Alvin menutup map, kemudian meletakkannya ke atas meja. "Saya carikan posisi untuknya dulu."
Ia bangkit meninggalkan sisa pertanyaan di kepala Dito. Alvin berpindah ke sisi kanan, ke dekat jendela lalu mengeluarkan ponselnya.
"Saya butuh posisi kosong di bagian office, jangan di bagian belakang dan jangan pula di bagian yang paling sibuk." Setelah berbincang beberapa saat, ia menutup teleponnya.
Dito mendekat, menanyakan kejelasan ucapan yang didengarnya. “Arin benar-benar mau dipindahkan ke kantor pusat?”
••••
Aplikasi TAMAT di KBM.
Judul: TALAKMU DI M4LAM PERT4MA
Penulis: Ina Shalsabila
Teman-teman bisa b3li KOIN KBM App untuk membaca kelanjutan kisah ini sampai tamat. Bisa lewat admin dengan budget sesuai isi dompet.
????Satu bab 1.500
Admin saya 0822-2865-6011
Format pesan: B€LI KOIN KBM APP
Tautan Aplikasi KBM:
(***)