PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA
PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA
(Penulis Kartika Deka)
Bab 7
Suara siapa?
"Jangan coba-coba membuka pintu tadi!" Ibu agak ketus, dengan pandangan yang menohok, membuatku jadi bertambah kikuk.
"I-iya Bu."
"Diruangan itu banyak tikus. Kalau kamu buka, takut nanti tikus-tikus itu lari masuk ke dalam rumah."
Alasan yang tak masuk akal, pikirku. Justru kalau banyak tikus, seharusnya dibersihkan. Sudahlah, aku takut untuk berpendapat.
Ibu bersikap biasa lagi, dia kembali asik dengan tanaman-tanamannya. Aku sesekali melirik ke arah gudang. Apa gerangan yang ada di ruangan di dalam gudang itu. Tanda tanya besar, mulai tersemat di kepalaku.
???KARTIKA DEKA???
Matahari mulai tinggi, kami sudah selesai membereskan semua tanaman-tanaman Ibu.
Aku yang lebih dulu masuk ke rumah segera membersihkan diri lagi. Walaupun tadi pagi baru mandi, gerah rasanya. Tubuhku juga terasa lengket, karena mandi keringat.
Menikmati guyuran air di bawah shower, sekedar merilexkan tubuhku. Sungguh nyaman rasanya.
"Siapa itu?" Aku seperti melihat sekelebat bayangan orang di balik tirai kamar mandi.
Gegas kusudahi aktivitas mandiku, kukenakan langsung handuk berbentuk piyama yang sengaja kusangkutkan di dinding kamar mandi. Kusibak tirai, KOSONG. Tak ada siapa pun. Cepat-cepat aku keluar.
Kulirik jam di atas nakas, sudah hampir jam satu siang. Sudah masuk waktu Dzuhur, aku mengambil wudhu. Mengganti bajuku dengan daster yang bersih. Segera kutunaikan kewajibanku sebagai seorang Muslim.
Kurebahkan tubuhku, seusai sholat. Rasanya hari ini cukup melelahkan.
TOK TOK TOK
"Mbak Dewi." Suara Bik Jum memanggilku.
"Ya Bik!" sahutku dari dalam.
Gegas aku buka pintu.
"Makan siang sudah siap Mbak."
"Ibu mana, Bik?" tanyaku, kulihat tak ada Ibu di ruang makan.
Letak ruang makan, terlihat jelas dari kamarku.
"Masih di kamar, Mbak."
"Saya yang manggil Ibu, ya Bik."
Kulangkahkan kakiku ke kamar Ibu, yang juga berhadapan dengan kamarku. Hanya melewati ruang tamu saja.
Masih lagi aku berada di depan pintu kamar Ibu, aku seperti mendengar suara. Kulekatkan daun telingaku ke pintu kamar Ibu. Suara itu terdengar lagi, seperti … suara erangan.
TOK TOK TOK
Kuketuk pintu kamar Ibu, tak terlalu keras.
"Bu." Tak ada sahutan.
Kucoba sekali lagi.
"Bu, makan yuk."
"Kamu duluan saja, Ibu masih kenyang," sahut Ibu, tanpa membuka pintu.
"Ibu … gak papa?" Aku agak khawatir dengar suara erangan tadi. Aku takut, Ibu kenapa-napa di dalam.
"Gak papa." Sedikit lega mendengar jawaban Ibu.
Aku pun sebenarnya sudah sangat mengantuk, tadi malam hampir tak tidur sama sekali. Tapi sebaiknya aku makan dulu, kasian bik Jum, udah capek-capek masak.
"Bik, saya boleh nanya sesuatu?" tanyaku ke bik Jum. Saat dia sedang melintas.
"Mau nanya apa Mbak?"
"Bibi kan, udah lama kerja di sini. Kira-Kira Bibi tau gak, ruangan yang ada di dalam gudang?" Kucoba menyelidiki melalui bik Jum dulu.
"Bibi gak tau, Mbak. Yang boleh masuk ruangan itu, cuma Bapak sama Ibuk aja."
"Oh gitu."
"Memangnya kenapa Mbak?"
"Gak papa, Bik. Bibi temani saya makan yuk."
"Nanti Bibi makan di dapur saja, Mbak." Bik Jum menolak halus ajakanku. Mungkin juga dia merasa sungkan.
Aku tak memaksanya lagi. Kulanjutkan makanku, mataku sudah mengantuk berat.
Selesai makan, aku langsung masuk lagi ke kamar. Karena kulihat Ibu tak kunjung keluar dari kamarnya. Mudah-mudahan tak ada apa-apa dengan Ibu.
Kurebahkan lagi tubuhku ke atas ranjang. Pikiranku mulai melayang-layang, menandakan aku akan segera beralih dari alam sadar ke alam mimpi.
Aku seperti mendengar suara-suara, kubuka mataku, semakin kutajamkan pendengeranku. Hening … tak ada suara apa pun. Mungkin hanya pendengaranku saja. Berusaha lagi kupejamkan mata. Lagi! Suara itu terdengar lagi.
Suaranya tak jelas, berbisik-bisik saling bersahutan seperti terbawa angin. Kali ini aku tak berani membuka mataku. Semakin kutarik selimut yang tadinya hanya menutupi sampai sebatas pjnggang, hingga menutupi seluruh tubuhku.
Suara-suara itu terus saja bersahutan di gendang telingaku. Seperti bukan berasal dari satu orang. Aku takut, tapi tetap berusaha mendengar dengan jelas.
"Buka kamar itu."
"Kau akan tau."
"Rahasia rumah ini."
"Jauhi patung itu!"
Seperti itulah lebih kurang yang kudengar. Suara itu terus saja bersahutan dan berulang. Aku semakin meringkuk di dalam selimut, tubuhku seakan terpaku. Tak berani beranjak sedikit pun dari atas tempat tidur.
Suara itu tak terdengar lagi, kubuka perlahan selimutku. Suasana yang tadi memcekam, kembali biasa lagi. Aku menghembuskan nafas lega, irama jantungku yang tadi berdegup kencang. Perlahan normal kembali.
Apa maksud suara-suara itu? Aku semakin penasaran dengan ruangan di dalam gudang. Tapi, bagaimana caraku bisa masuk ke situ. Sepertinya ada rahasia besar di dalam ruangan itu.
Aku pusing sendiri, dan tak sanggup lagi menahan rasa kantukku. Kubaca terlebih dahulu doa tidur. Semoga Allah melindungi diriku, tak ingin lagi bermimpi seperti semalam.
???KARTIKA DEKA???
"Dewi, Sayang. Bangun!"
Seperti suara mas Roni, kubuka sedikit mataku, benar saja. Dia sudah ada di dekatku, aku menggeliatkan tubuh. Hmm, nyenyak sekali aku tidur.
"Baru pulang, Mas?" tanyaku.
"Iya, baru sekitar setdngah jam."
"Kok, aku gak dibanguni?"
"Enak banget kamu tidurnya. Gak tega mau banguni."
"Iya Mas, ngantuk berat. Tadi malam kan, gak bisa tidur. Sudah jam berapa ini?"
"Jam lima lewat."
"Haaaoom, aku Ashar dulu Mas."
"Mas, di teras ya."
"Mas, udah Ashar?"
"Udah."
Meskipun sudah lewat waktu, aku tetap menunaikan sholat wajib.
Selepas sholat, aku menyusul mas Roni ke teras depan rumah. Aku tak menemukannya. Kuedarkan pandangan, patung kuda menjadi objek paling jelas dalam pandanganku. Dia berdiri gagah di tengah halaman rumah. Kualihkan pandang ke tempat lain. Ternyata mas Roni, duduk di ayunan yang ada di halaman. Tumben.
“Mas, tumben duduk di ayunan.”
"Mengingat masa kecil. Dulu, Mas sama Ibu suka bermain ayunan disini.
"Oh begitu. Mas, patung kuda itu, sejak kapan sudah ada disini?" tunjukku ke arah patung kuda dengan daguku.
"Kapannya, Mas kurang pasti. Yang jelas, sejak Mas kecil, patung kuda itu sudah ada di sini."
“Menurut Mas, patung itu aneh gak sih?” Aku berbicara setengah berbisik.
"Biasa aja sih."
Wajar saja mas Roni merasa patung itu biasa saja. Dia sudah sejak kecil melihat patung itu. Mungkin karena aku baru datang ke rumah ini, jadi masih merasa aneh.
Karena biasanya tidak ada patung kuda yang menghiasi halaman rumah. Kecuali pada tempat-tempat tertentu. Taman bermain misalnya. Saya pernah melihat patung kuda, di salah satu objek wisata di dekat panti. Tapi patung kuda disana tidak menyeramkan. Sangat berbeda dengan patung kuda di rumah mertuaku ini. Melihatnya saja membuat bulu kudukku meremang.
"Yang, dari tadi di cariin. Di sini rupanya."
Mataku membeliak melihat mas Roni ada di hadapanku, dia baru datang dari dalam rumah. Membawa, segelas kopi dan piring berisi biskuit di kedua tangan.
Lalu…siapa yang disebelahku? Yang sedari tadi berbincang denganku.
Kugerakkan bola mataku, mencoba melihat dari ujung ekor mataku. Belum berani mengeluarkan tubuhku. Kelihatannya kosong, tak ada siapa pun.
Perlahan-lahan aku palingkan wajahku, memastikan bahwa di sampingku benar tak ada orang. Benar-benar kosong, tak ada siapa pun.
Jantungku kembali berdebar hebat, kukepalkan menerima yang tetiba terasa dingin.
"Kamu kenapa?"
(***>