PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA - Bab 12
PATUNG KUDA DI RUMAH MERTUA
(Penulis Kartika Deka)
Bab 12
Aku terperangah melihat isi di dalam ruangan, terlihat ada dua peti mayat yang tak terlalu besar. Seperti buat anak kecil. Ada sesaji juga dupa di atas peti-peti itu. Bau kemenyan langsung memenuhi rongga hidungku. Aku masuk ke dalam, ada banyak mainan anak kecil. Baik mainan untuk anak laki-laki dan perempuan.
Aku penasaran ingin membuka peti itu, tapi begitu ingin menyentuhnya, "Alhamdulillah, Sayang. Sudah … kamu sudah baik-baik saja." Mas Roni memelukku. Tubuhku terasa sangat lemas sekali. Aku terkulai di pelukan mas Roni.
“Ma….” Aku merasa begitu lemah, bahkan untuk berbicara.
"Minum dulu." Mas Roni membantu meminumkan air dari gelas ke mulutku.
Ada apa denganku? Kenapa tiba-tiba aku ada di kamar? Bukannya... tadi aku ada di gudang? Tubuhku juga rasanya sangat tak bertenaga, serasa tak bertulang.
Aku mulai merasa agak segar, setelah meminum air yang diberikan mas Roni.
“Aku kenapa Mas?” tanyaku, suaraku sudah normal meski masih terdengar lemah.
Mas Roni membimbingku duduk di dekat kepala tempat tidur, dengan meletakkan satu bantal di belakang punggungku.
"Kamu tadi melamun. Hanya diam seperti patung. Mas sampai bingung, kamu dipanggil-panggil tetap gak gerak. Jadi tadi Mas hubungi Iwan. Dia suruh Mas, membacakan Ayat kursi, juga surat An Nas, Al Falaq juga Al Ikhlas di gelas air. Di suruh nyipratin ke wajah dan seluruh tubuh kamu Baru kamu sadar, lebihnya yang tadi kamu minum," jelasnya.
“Bukannya, Mas tidur tadi?” tanyaku.
"Iya, tapi Mas terbangun. Waktu bangun, liat kamu duduk diam saja, ngeliatin jendela. Mas suruh tidur, kamu gak nyahut. Mas panggil-pangil pun, kamu tetap diam. Makanya Mas berpikir, ada sesuatu yang sama kamu."
Aku termenung mendengar penjelasan mas Roni. Berarti yang tadi bukanlah hal yang nyata. Masak aku bisa mimpi dalam keadaan tak tidur.
“Mas, kita jadi ke rumah Bang Iwan?” tanyaku, sepertinya bang Iwan orang yang tepat untuk konsultasi hal seperti ini.
"Apa kamu sudah kuat?" tanya suamiku.
"Sudah." Tubuhku sebenarnya masih lemas, tapi aku harus mengungkap semua ini.
???KARTIKA DEKA???
Sampai di rumah bang Iwan, dia menyambut kami dengan hangat.
"Sudah baikan?" Bang Iwan bertanya padaku. Mungkin tentang tadi, yang baru terjadi di rumah.
“Alhamdulillah sudah Bang,” jawabku.
"Wan, sepertinya ada yang janggal di rumah kami." Mas Roni langsung saja bercerita perihal maksud kedatangan kami. Jadi kami sudah duduk di teras rumah bang Iwan.
“Maksudnya?” tanya bang Iwan.
"Kalau aku, tak begitu merasakan keanehan. Tapi Dewi, yang sejak awal merasakan ada sesuatu yang gak beres," kata mas Roni.
Bang Iwan mengalihkan pandangan ke aku, aku mengangguk mengiyakan.
"Bisa diceritakan keanehan seperti apa?" tanya bang Iwan.
"Jujur Bang, sejak awal aku datang ke rumah Mas Roni. Aku merasa ngeri melihat patung kuda di depan rumah. Patung itu, kayak hidup menurutku." Kepala bang Iwan manggut-manggut sepertinya mengerti maksudku.
"Aku juga merasa seperti ada yang mengawasiku di rumah itu. Seperti ada yang mengikutiku, kemanapun aku pergi." Setengah berbisik aku berbicara seolah takut ada yang mendengar selain kami. Padahal hanya kami yang ada disini.
Bang Iwan dan suamiku mendengarkan ceritaku dengan seksama.
"Aku juga selalu bermimpi buruk." Aku melanjutkan ceritaku.
"Mimpi buruk seperti apa?" Bang Iwan bertanya lagi.
"Aku beberapa kali bermimpi melihat anak kecil di rumah."
“Laki-laki?”
"Iya Bang, mimpiku yang pertama hanya seorang anak laki-laki. Dia seperti tak suka dengan kehadiran kami. Tapi mimpiku yang kedua, ada juga anak perempuan yang lebih kecil." Aku menjelaskan lebih lanjut.
“Kamu kok gak pernah cerita Yang?” tanya suamiku.
"Karena aku pikir hanya mimpi saja, jadi gak perlu cerita Mas," jawabku.
"Mas, inget gak? Kata Alif tadi. Apa yang dimaksud Alif mereka ya."
“Bisa jadi,” sahut suamiku.
“Alif?” tanya bang Iwan.
"Adik asuh Dewi di Panti Asuhan Wan. Dia juga kayak kamu, bisa melihat sesuatu yang kami gak bisa lihat," jelas mas Roni.
“Dewi juga dibesarkan di Panti Asuhan,” sambung mas Roni.
"Tadi, kami video call dengan adik-adik di Panti. Alif bilang, ada dua anak kecil bersama kami. Sebelum kejadian tadi, yang aku hubungimu tadi. Dewi tiba-tiba seperti patung," beber mas Roni.
“Sebentar-sebentar.” Bang Iwan masuk ke dalam rumahnya. Tak lama kembali lagi membawa nampan berisi dua gelas air putih.
"Nah, minum.dulu. Ini saja yang ada. Air zam-zam hehehe." Bang Iwan berkelakar, untuk mengurangi ketegangan kami.
“Repot-repot Bung,” ucap mas Roni.
"Apa yang kamu lihat tadi?" Bang Iwan menyanyaiku.
“Maksudnya Bang?” tanyaku kurang mengerti.
"Sewaktu kau mematung tadi. Ruhmu dibawa ke suatu tempat. Apa yang kamu lihat tadi?" Bang Iwan mengulangi pertanyaannya
Aku minum sedikit air putih, tiba-tiba leherku terasa kering karena harus mengingat kejadian tadi.
"Tadi di kamar aku membawa dua anak yang kuceritakan tadi. Aku sangat takut, udah coba memanggil Mas Roni, tapi suaraku gak keluar. Anak-anak itu terus saja membimbingku. Aku kayak dihipnotis, menurut aja. Padahal hati." Telapak senang rasanya berkeringat.
“Kemana mereka membawamu?” tanya bang Iwan.
"Ke gudang. Mas ingatkan, sama ruangan yang kubilang kemaren?" tanyaku ke mas Roni.
Mas Roni menjawab pertanyaanku.
"Mereka membawaku ke luar itu."
"Apa yang kamu lihat di situ?" Bang Iwan tidak bertanya lagi.
"Aku melihat ada peti mati, juga banyak mainan juga baju-baju anak kecil. Juga ada sajen di atas peti-peti itu. Tadinya aku ingin membuka peti itu. Tapi tau-tau aku sudah di kamar."
“Mereka ingin menceritakan sesuatu,” kata bang Iwan.
"Kau bisa bantu kami Bung?" tanya mas Roni.
“Istrimu ini, sedang dalam pengaruh ghaib.” Aku terhenyak mendengar ucapan bang Iwan.
“Ada jin yang menyusul,” lanjut bang Iwan.
“Jin?” Aku dan mas Roni serentak mengutarakan.
"Iya, jangan percaya dengan tipu daya mereka. Perbanyak sholat, lebih dekatkan lagi diri kalian sama Allah. Sholat malam juga, usahakan istiqomah. Banyak-banyak dzikir, minta perlindungan Allah. Cuma Dia sebaik-baik pelindung." Kami mendengarkan dengan baik wejangan dari bang Iwan.
“Bagaimana bisa istriku diganggu Jin?” Mas Roni seakan bertanya dengan dirinya sendiri.
"Bisa saja Bung. Jin itu bisa menggoda siapa saja, dia berusaha menggoyahkan iman istrimu dan juga imanmu. Apalagi jin itu memang dipanggil." Kata-kata bang Iwan membuat kami saling pandang.
"Dipanggil? Maksudnya? Siapa yang memanggil jin itu?" tanya mas Roni penasaran.
"Nanti kamu akan tau, aku belum bisa mengutarakan." Mas Roni tak memaksa bang Iwan bicara, setelah mendengar ucapanya.
"Apa kamu bisa membantu kami?" tanya mas Roni, berharap ke bang Iwan.
"Minta tolong sama Dia, Bung." Telunjuk bang Iwan mengarah ke atas. Kami memahami maksudnya.
“Maksudku…apa kamu bisa menjadi perantaraNya?” Mas Roni meralat kata-katanya.
"Istrimu harus diruqyah. Aku belum bisa melakukannya. Kalau memang sangat dibutuhkan, nanti aku minta bantuan sahabatku di pesantren."
"Kalau bisa secepatnya Bung. Aku takut terjadi sesuatu dengan istriku."
"Sabar Bung. Saat ini istrimu sedang berhalangan." Aku merasa heran, kenapa bang Iwan bisa tau. Tapi aku hanya diam, tak enak kalau bertanya hal seperti ini.
"Sebab itu mereka bisa lebih leluasa mengganggu istrimu. Banyak kan dzikir di rumah kalian. Aura rumahmu itu terlalu gelap Bung." Kata-kata bang Iwan cukup masuk akal.
Rumah mertuaku memang megah, tapi suram. Siapapun yang masuk untuk pertama kalinya, pasti akan bergidik.
"Bang, menurut Abang. Patung kuda di rumah mertuaku itu, apa tidak ada izin dengan keganjilan ini." Aku mencoba bertanya..
"Patung kuda itu hanya media. Sebab itu, kita dilarang meletakkan patung yang bentuknya sangat mirip dengan aslinya di rumah. Karena bisa menjadi media buat jin bisa masuk ke rumah kita. Salah-salah bisa merusak keimanan kita. Bisa jadi kita terlalu kagum kan, melihat bentuknya yang sangat mirip aslinya?
"Bisa jadi Bang. Setiap melihat patung itu, aku seperti terhipnotis," kataku.
"Tak perlu dilihat lagi, kalau masuk rumah lewati saja. Jangan dipandang lama-lama." Nasehat bang Iwan.
"Bung, kapan kira-kira kau bisa memanggil temanmu itu." Mas Roni terlihat khawatir.
"Nanti aku akan ke pesantren menyusulnya. Aku akan langsung bawa ke rumahmu. Ingat pesanku, jangan tinggalkan sholat dan rutinkan dzikir. Saat berhalangan pun, hanya sholat yang tak bisa dikerjakan. Tapi dzikir bisa terus jalan. Jangan kosongkan pikiran. Biar mereka tak mudah menguasai raga kalian. Terus dekatkan diri sama Allah. Aku dan temanku hanya perantara, kalianlah yang utama harus meminta perlindungan dariNya." Aku dan mas Roni mengangguk, memahami dan menerima setiap nasehat dari bang Iwan.
"Terima kasih banyak Wan sebelumnya. Kami akan menjalankan setiap nasehatmu. Semoga tak ada lagi yang menggangu istriku. Sudah sore Wan, kami balik dulu." Mas Roni berpamitan.
"Iya, hati-hati di jalan. Jangan terlalu memikirkan, nanti mereka malah mudah memahami pikiran kalian." Nasehat bang Iwan lagi sebelum motor kami melaju pulang.
"Siap Bung. Assalamualaikum."
“Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.”
Sepanjang jalan, aku terus memikirkan kata-kata bang Iwan. Ya Allah lindungilah kami.
“Mas-mas, lihat Ibu itu.” Mataku seketika mengarah ke arah Ibu penjual tiwul.
Dia sedang di pinggir jalan. Dia terlihat membawa tas besar.
“Mas, kita datangi Ibu itu,” ajakku
Aku masih penasaran dengan kejadian tadi pagi.
"Kamu yakin?"
“Yakin Mas, aku yakin, pasti dia mengetahui sesuatu.”