Renungan keluarga/hidup

#pengikut


Renungan keluarga/hidup????????


???????????? ???????????????????????????? ???????????????????????????????? , ???????????????????? ???????? ???????????????????? ????????????????????????????????????. ???????????? ???????????????????????????????? ???????????????????????????? ???????????????? , ???????????????????????? , ???????????????????? , ????????????????????.


Bab 3


Hari ini Laras masuk sekolah, pertama kali ia akan bersekolah. Laras sudah bisa membaca, aku yang mengajarinya. Aku putus sekolah ketika kelas tiga SD, untuk belajar membaca aku bisa mengajarinya. 


"Laras, maafkan Ibu gak bisa mengantar kamu ke sekolah." Ibu membekukan rambut Laras yang di kuncir dua.


"Gak apa-apa, Bu, ada Abang yang mengantarkan aku. Iya'kan Bang," tanya Laras aku.


"Iya Bu, jangan khawatir. Aku yang akan mengantar Laras dan jemput. Setelah mengantar Laras, aku cari botol yah Bu. Tadi sudah masak nasi, kalau Ibu mau makan ada di meja," ucapku.


"Iya sayang, terima kasih," ucapku.


Laras mencium punggung tangan Ibu, lalu aku mengantarkan Laras ke sekolah. Laras sangat senang. Ia mengenakan seragam putih merah dan sepatu barunya. Di sekolah banyak ibu-ibu yang mengantarkan anaknya ke sekolah, mereka menunggu anaknya sampai pulang.


"Abang, pulang aja jangan sampai menungguku. Nanti Abang jemput aku sekitar jam setengah sepuluh, Bang," ucap Laras.


“Beneran kamu gak mau Abang tungguin?” tanyaku.


“Iya Bang, Abang tinggal aku setelah bel sekolah berbunyi,” ucap Laras.


Aku pulang setelah bel berbunyi, di rumah aku mengambil karung untuk mencari botol bekas. Kata Pak RT di gang seberang ada hajatan, aku mendorong pergi ke sana untuk memunguti sampah gelas plastik bekas hajatan selesai.


Ternyata benar kata pak RT, di sana banyak sampah gelas plastik, saya meminta izin kepada pemilik rumah untuk memunguti sampah gelas plastik bekas air mineral.


Alhamdulillah rezeki pagi ini, saya dapat sekarung penuh sampah gelas plastik. Aku langsung pulang setelah karung terisi penuh, lagi pula harus menjemput Laras di sekolah. Dengan riangnya aku berjalan membawa sekarung sampah, pundi-pundi u4 ng. 


Tiba-tiba ada yang menabrakku, seorang laki-laki berumur sekitar dua puluhan dan dia memberikan tas kepadaku, tetapi dia langsung berlari dengan sangat kencang. Aku bingung kenapa orang itu memberikan tas.


"Maling...maling...," teriak sekitar sepuluh orang warga, mereka melihat aku.


“Woi, ini malingnya,” teriak Bapak yang berkumis menangkapku.


“Pak, saya bukan maling,” ucapku mulai ketakutan. Bapak itu menarik kerah bajuku.


“Masih kecil sudah maling kamu,” teriak Bapak berkumis.


“Sungguh Pak, saya bukan maling.” Orang-orang sudah mulai datang dan mengelilingiku.


“Biasanya yang kecil seperti ini nih…pura-pura jadi pemulung, padahal maling, biar kita kasian melihat dia,” teriak laki-laki jangkung.


“Sungguh Pak, saya hanya mengambil gelas plastik yang dibuang bekas hajatan di sana.”


Jantung mulai berdebar, aku ketakutan karena warga melihat dengan datangnya yang sangat menakutkan. Aku berusaha untuk melepaskan dari cekalan tangan laki-laki berkumis. 


Ketika lepas, aku mencoba berlari, tetapi kerah baju belakang ditarik, laki-laki jangkung itu memukul wajahku. Aku melindungi wajah dari pv kulan dengan tangan, menutup tubuh. Mereka men3 ndang tubuhku dan terus memukuli kepala.


“Pak… ampun… saya bukan maling, ampun Pak.” Aku berteriak, mohon ampun dari mereka karena mereka terus saja memv kul dan tendanganku. 


"Hai, bukan anak ini yang mencuri tas saya. Tadi saya melihat yang mencuri laki-laki dewasa berumur dua puluhan," teriak seorang wanita yang mempunyai tas itu. Untuk warga berhenti memv kul. Wajahku sudah babak belur, pelipis berdarah.


“Kalian ini sudah tua, gak ada perasaan, memukul anak kecil seperti ini,” ucap ibu yang mengadakan hajatan keluar rumah setelah mendengar pujian. Ia mendekatiku dan memapah untuk duduk.


"Ambilkan minum, g! la kalian. Anak kecil dipv kulin seperti ini, kalian bisa menuntut," bentak ibu itu.


“Hahaha…dia hanya pemulung, gak akan bisa menuntut kami,” ucap laki-laki jangkung yang sangat sombong.


“Saya yang akan membantu anak ini untuk menuntut kalian,” ucap ibu itu.


Laki jangkung itu ketakutan, dan mereka semua yang memukulku juga ketakutan. 


"Dek, jangan lapor kami. Eh, kamu bawa u4 ng berapa? Kumpulin buat pengobatan anak ini," ucap Bapak berkumis.


"Ogah saya," jawab laki-laki jangkung.


“Yah sudah jika kamu mau masuk penjara,” ucap Bapak berkumis.


"Oke deh, ini aku." Laki jangkung itu memberikan uang kepada laki-laki berkumis dan juga yang lain, yang telah memv kulku. Mereka juga mengeluarkan u4 ng mereka.


Mereka dengan seenaknya hanya memberikan aku u4 ng tanpa mengantar ke dokter. Pemilik tas itu meminta maaf, karena yang di curi ternyata berisi u4 ng untuk memb4 yar karyawannya. Ia memberikan uang juga untukku. Ibu yang punya hajatan membawaku masuk.


“Kerumah saya yuk Dek, saya obati lukanya dulu,” ucap ibu itu. Ibu itu membersihkan wajahku dengan Alkohol, perih rasanya. Aku hanya bisa mengeluarkan air mata karena perih yang kurasakan. 


“Alhamdulilah gak ada yang merobek kepalanya, hanya pelipis. Jadi Ibu bisa menutupnya langsung pakai perban. Nama kamu siapa?” tanya Ibu itu.


“Namaku Radit, Bu,” jawabku.


“Ibu namanya Bu Dasim,” ucap ibu Dasim. Alhamdulillah Bu Dasim sangat baik, semua lukaku di beri obat.


“Terima kasih banyak Bu, aku harus pergi. Karena sudah waktunya adik pulang sekolah,” ucapku pamit.


"Kamu yakin dalam keadaan seperti itu?" tanya Bu Dasim. Aku tersenyum dan menganggukan.


“Ini uang dari mereka yang memukulmu, jangan lupa beli obat. Tunggu sebentar yah,” ucap Bu Dasim. Ia mengeluarkan ke luar dan memberikan kantong kresek, "ini ada lauk sisa hajatan, kamu bawalah pulang untuk keluargamu," ucap ibu Dasim, sambil memberikan kantong kresek itu untukku. 


"Terima kasih banyak ya Bu, assalamu'alaikum." Aku mencium punggung tangan Bu Dasim. 


“Wa'alaikumsalam, hati-hati yah Dek,” teriak Bu Dasim. Aku membawa karungku, terasa s4 kit kaki sehingga kumenyeretnya. Badan juga terasa sangat remuk, sakit semua. Aku pakai topi, agar wajah yang memar tidak terlihat.


Aku pulang terlebih dahulu untuk meletakkan karung berisi gelas plastik mineral. Berjalan mengendap-endap, berbaring, agar Ibu tidak tahu.


 Kantong kretek berisi makanan, aku membawa dan menggerakkan berjalan sambil menyeret kaki yang masih terasa sakit. Laras sebentar lagi menyelesaikan sekolahnya, aku harus mengemudi.


Aku menunggu Laras di depan pintu kelasnya, memanggil namanya ketika Laras keluar dari kelas. Aku ingin rambutnya, adik kecilku sangat manis memakai seragam sekolah.


“Abang, wajah Abang kenapa?” tanya Laras.


“Nanti Abang ceritakan,” ucapku.

Laras memperhatikan cara jalanku, ia menarik lenganku.


"Abang, memutar pelan-pelan. Laras tuntun yah, Abang kenapa sih sampai seperti ini? Tangan Abang juga biru-biru. Abang digebukin yah," ucap Laras spontan.


“Iya Laras, Abang di Sangka Maling,” ucapku jujur.


"Astagfirullah, terus mereka gak bawa Abang ke dokter? Kebangetan banget, Abang babak belur begitu," ucap Laras sambil menatap wajahku.


“Tapi ada hikmahnya Dek, Abang dapat uang dan makanan,” ucapku tersenyum.


“Duh Abang, kalau wajah Abang sampai babak belur gitu, mana bisa di ganti u4 ng,” ucap Laras sewot.


“Ih, tua banget sih kamu ngomongnya, kayak emak-emak yang ngomelin anaknya.” Aku mencubit pipi Laras, gemes kalau dia marah-marah. Bibirnya dimonyongkan.


"Beli obat Bang di apotek, tanya sama penjaganya, obat nyeri, obat merah, sama anti biotik. Biasanya kalau orang sakit obatnya pasti ada antibiotik. Biar Laras yang jadi dokter Abang," ucap Laras. Aku mengacak-acak rambut Laras dengan gemas.


Bersambung...




???????????????????? : ???????????????????????????? ???????????????? ????????????????????????????????????

???????????????????????????? : ???????????? ???????????????????????? Farida 



(***)