DI ALAS ROBAN



Rahmat duduk bersila di Masjid selepas sholat.

Pikirannya melayang kembali pada masa-masa dimana ia masih bersama wanita yang paling ia cintai.


"Aku kembali ke Jakarta nanti sore, tolong jaga anak kita ya." Rahmat menetap di perut wanita yang sedang hamil tua.


"Kamu di Jakarta jangan macam-macam loh, awas aja kalau kamu sampai selingkuh, aku potong burungnya!" Wajah manja Sri memandang Rahmat.


"Aku selalu menyayangi, tak ada sedikitpun rasa tertinggal selain cintamu." 


"Hah, gombal!" Sri hasta pinggang Rahmat, membuat Rahmat meringis kesakitan.


“Mas, Mas, maaf Masjidnya mau tutup.” Seorang lelaki tua menepuk pundak Rahmat, membuyarkan lamunannya.


Tadinya Rahmat ingin menginap di Masjid itu karna hari telah larut malam, namun pikirannya sedang tak enak karna terbayang kembali pada masa lalunya.

Ia akhirnya mengganti pakaian sholatnya dengan kaos hitam dan celana cingkrang hitam yang biasa ia kenakan saat berjalan.


Semakin Rahmat berjalan semakin berkurangnya rumah dan pemukiman di sisi kanan dan kiri jalan, semakin berkurang juga penerangan di jalan, hingga akhirnya kanan-kiri jalan hanya ada pepohonan dan kegelapan yang mencekam.


"Waduh, jangan-jangan ini masuk Alas Roban." Batin Rahmat dalam kegelisahannya.


Kendaraan pun mulai jarang melintas, membuat suasana benar-benar gelap.


Rahmat belum tau letak Alas Roban, namun ia tau dari berita-berita di majalah atau koran kalau Alas Roban itu adalah hutan angker yang ada di Jawa Tengah.


Bulu kuduk Rahmat berdiri, sesekali matanya memandang ke belakang, pikirnya ingin kembali, namun kakinya seperti tak bisa berhenti melangkah ke depan.


"A! A! sini! ini loh anakmu, ga kangen kah sama anakmu?" 


Kaget Rahmat melihat Sri mantan istrinya sedang menggendong bayi di seberang jalan.


Reflek Rahmat menyebrang jalan, namun tiba-tiba ada yang menarik tangan hingga Rahmat terjatuh, bersamaan dengan itu Bus dengan kecepatan tinggi melaju hampir menabrak Rahmat.


“Astaghfirullahaladzim.” Jantung Rahmat berdetak kencang, mendengar klakson dari Bus yang hampir menabraknya.


“Ngapain mau bunuh diri Mas?” Seorang lelaki seusia Rahmat mengulur tangan untuk membantu Rahmat berdiri.


"Ga, aku tadi seperti melihat mantan istri menggendong anakku di sebrang sana jadi..."


“Ah, itu hanya ilusi saja, makanya jangan ngelamun kalo lewat hutan ini.” Lelaki itu tersenyum.


Terima kasih Kang, nama saya Rahmat. Rahmat ulurkan tangan.


“Saya Hadi, Mas mau kemana?” Tanya Hadi.


"Saya lagi jalan kaki aja, rencana mau ke ujung pulau Jawa ini." 


"Oh Musafiran ya? kalau begitu kita sama Mas, ayolah kita bareng, biar ga iseng.". 


Merekapun jalan berdua melewati jalan sepi di Alas Roban.


Maju tak gentar, membela yang benar! maju tak gentar pasti kita menang! Hadi bernyanyi kencang sepanjang jalan.


Malam semakin larut, terlihat Rahmat sangat kelelahan.


"Kita tidur di sini saja ya?" Rahmat menghentikan langkahnya.


"Jangan bahaya tidur di pinggir hutan, kalau mau ke tengah sekalian di sana." Hadi menunjuk ke dalam hutan. 


"Aduh, malah tambah seram masuk hutan mah." Rahmat menghela nafas dalam-dalam.


“Ayolah jalan saja terus, ayo semangat.” ujar Hadi sambil kembali berjalan.


Mereka melewati jembatan dan Rahmat melihat ada cahaya di arah kanan jembatan itu.


"Itu pasti cahaya lampu, itu mungkin rumah atau Musholla ayo kesana." Rahmat menuruni jembatan menuju arah cahaya itu.


Benar saja ada Musholla di sana, dan cahaya itu adalah cahaya dari lampu Patromak.


Rahmat meletakan tasnya lalu duduk di teras Musholla itu.


"Apabila seseorang di antara kamu masuk ke dalam Masjid, maka hendaklah ia melakukan shalat dua raka'at sebelum duduk, hadis riwayat Bukhari." ternyata di Mushola itu ada seorang lelaki yang sedang duduk bersila di pojok teras Mushola.


“Astaghfirullah, maaf lupa saya, Hadi ayo kita sholat dulu.” Rahmat berdiri lalu menuju tempat wudhu.


Selepas Sholat Rahmat sampai ke lelaki yang sedang bersila itu.

Lelaki itu berjanggut panjang namun ia masih muda, usianya mungkin tiga puluh tahunan, wajahnya bersih tanpa kumis, alis matanya tebal dan hidung mancung.


"Saya Rahmat dan itu teman saya yang sedang sholat bernama Hadi." Rahmat menunjuk ke dalam Masjid.


"Saya Faisal, saya ada kopi ente mau minum kopi?" Tanya Faisal.


"Wah boleh Kang." Rahmat tersenyum.


Faisal membawa tas ransel besar seperti tas untuk naik gunung yang ia taruh di sekitarnya.


"Sebentar ane seduh dulu ya kopinya." Faisol mengambil kaleng bekas minuman ringan, dua sachet kopi hitam dan dua gelas plastik bekas air mineral dari dalam tasnya.


Ia membakar kaleng bekas minuman yang telah ia isi air, dan tak lama airpun mendidih, lalu Faisal menyeduh kopi yang ada di dua gelas plastik.


"Ini untuk ente, dan ini untuk teman ente, siapa namanya?"


“Hadi, akang terus ga minum kopinya?”


“Ga usah, udah telpon aja temen ente itu.”


Rahmat menengok ke dalam Musholla, namun ia tak melihat Hadi di sana.


"Kang Hadi, Kang!" Rahmat berdiri mencari Hadi.


“Ga ada kemana ya?” Rahmat terlihat kebingungan.


“Karna ane liat ente datang itu sendirian, ga sama siapa-siapa.”


Perkataan Faisal tentu saja membuat Rahmat kaget bukan kepalang.


“Engga Kang, saya datang itu tadi sama Hadi, saya jalan sama dia kok, bahkan dia itu sudah menyelamatkan nyawa saya.” 


"Ente ketemu dia di hutan tadi?"


"Iya Kang."


"Entah ente yang berhalusinasi atau memang Jin Qorin yang nemenin ente bersin, udah mending diminum dulu kopinya nanti keburu dingin." Faisal menyeruput kopi yang tadi ia sodorkan pada Rahmat.


"Halusinasi atau Jin Qorin?" Rahmat melihatnya lirih dalam kebingungannya.


Alas Roban-03-2001

(***)