Bagian 7



Mendengar dengkuran kecil, kualihkan tangan kekar Gus Bed yang melingkar di perut perlahan. sepertinya dia sudah tertidur dalam tidurnya. Sampai kugerakan-gerakan tapak tangan di depan wajahnya untuk memastikan.


Menyerupai maling, diam-diam meraih pakaian luar pakaian dalam, karena hawa terlalu dingin. Lebih setelah lepas dari selimut dan tubuh hangat Gus Bed. 


Lalu mengambil ponsel sebelum masuk ke kamar mandi. Agar aman tidak mendapat gangguan dari suami, atau tertangkap basah tengah menelepon seseorang, pintu kukunci.


Kutekan sebuah kontak atas nama 'Shinta'. Tadinya aku mau sabar sampai besok. Ke apotik terdekat untuk membeli tes pack, untuk mengetahui apakah yang kualami datang bulan atau implantasi karena hamil? Tapi aku tak sabar dan puas. Setidaknya aku harus tenang sebelum tidur.


Tak lama panggilan tersambung dan seseorang mengangkatnya.

"Assalamualaikum."


"Waalaikumsalam." Suara di seberang sana terdengar sedikit serak. Sepertinya perempuan berusia 25 tahun itu baru terbangun ketika ada panggilan.


"Ada apa, Li?" tanya Shinta diikuti suara berat yang ketakutan. Benar kan, dia sudah tidur. 


Aku pun kalau bukan pengantin baru, pasti sudah tidur sejak jam sembilan tadi. Saat bersama Gus Bed, waktuku terasa singkat. Dua jam seolah hanya beberapa menit.


"Apa ada masalah, sudah jam sebelas malam telepon?" sambungnya lagi dengan suara yang malas.


"Iya, Shin. Maaf ganggu ya."


"Keliman."


"Shin, kok aku ke luar bercak ya?"


"Haid mungkin. Kan kemarin sebelum aku menyuntikkan udah di tespack dan negatif."


Jari-jariku bergerak. Menghitung sesuatu. Hari di mana aku pasang KB, adalah hari pertama setelah akad nikah dan tiga hari setelah Fay menyentuhku.


Umumnya sperma bertahan sampai 72 jam atau sekitar tiga hari. Apa artinya ini masih kemungkinan anak Fay. Ah, iya kalau aku hamil? 


"Oh iya betul, Shin. Maaf ya, dah ganggu."


"Huum. Tidurlah. Itu pasti darah haid yang baru ke luar. Besok juga deres kaya biasa. Jangan sampai menikah bikin lo stres. Okey!" ucapnya lagi diikuti suara menguap.


Ya, sudahlah. Shinta pasti sangat ketakutan. Kliniknya tak pernah sepi dari pasien. Ada saja yang datang berobat atau sekedar memeriksa diri.


"Baik. Shin. Makasih. Assalamualaikum."


"Hem, yah. Haah. Walaikumsalam." Lag-lagi suara menguap.


Detik selanjutnya kumatikan ponsel. Di saat yang sama suara pintu kamar mandi diketuk seseorang.

"Dek. Di dalam kok lama?"


"Eh, ya Bang." Duh, kok bisa-bisanya dia bangun? Jangan-jangan mendengarku sedang berbicara dengan seseorang. 


Segera kusembunyikan ponsel di balik pakaian luar pakaian dalam.


"Iya, Bang?" 


Kini telah meraih gagang pintu dan melihat wajah Gus yang ditakuti.


“Kok tumben di kamar mandi, pintunya tidak terkunci, Dek?” Ia mengucek matanya yang merah karena terbangun dari tidurnya.


"Em, iya. Apa Abang keberisikan? Adek tadi nelpon Shinta." 


Tenanglah suamiku, aku tidak akan bertelepon dengan pria lain. Apalagi Fay. Nomornya telah kublokir sejak kali pertama masuk ke ponselku.


"Hem? Shinta." Gus memandang sebentar, tersenyum tipis dan melaluiku begitu saja tanpa menjawab. Sepertinya dia tidak tertarik dengan aktifitasku tadi.

“Maaf, Dek. Abang kebelet.”


"Ohya," ucapku sebelum kembali ke kasur.


Saat Gus kembali, wajahnya terlihat sedikit lebih segar. Dia melihatnya.


"Ada apa?" Kulebarkan mata karena tidak mengerti maksudnya.


“Kenapa pakaian luarnya dipakai lagi?”


"Oh?" Kutatap gaun tipis lebar yang menutup bagian dalamnya yang seksi. Mengerti apa yang ia maksud, aku bangkit, melepasnya dan kembali menggantungnya di lemari.


Kembali berbaring di sebelah Gus yang matanya masih terbuka.

“Nah, mungkin enak.” Ia rapatkan seluruh tubuhnya dengan memejam.


Mungkin sekarang saatnya saya membahas tentang Raudah. Walau bagaimana dia sudah membuatku gelisah kedua setelah Fay.


“Bang, apa Abang kenal Raudah?” tanyaku sambil memandangi langit-langit. Sementara tangan menumpuk di tangan kekar Gus yang melingkar ke perutku.


Ah, tentu saja Gus Bed tahu. Namun, saya perlu berbasa-basi sebelum masuk ke pertanyaan inti.


"Keliman?" Matanya tiba-tiba terbuka. Bahkan kepala yang biasa ditutup kopyah itu sedikit terangkat seperti orang terkejut.


Kenapa ekspresinya begitu? Apa Raudah memang orang yang sangat berkesan buatnya?


“Kenapa tiba-tiba bahas dia, Dek?”


“Tiba-tiba?” Aku balik bertanya heran. Jadi benarkah ada hubungan mereka? Jadi benarkah mereka begitu dekat sampai Gus bereaksi seperti itu saat kusebut nama Raudah?


"Em, apa boleh kita tidak membahasnya."


"Loh, adek cuma tanya Abang kenal ndak sama Raudah? Kok Abang meresponnya lain?" Aku sedikit beringsut agar bisa bertatapan dengannya dan melihat ekspresi wajahnya dengan jelas.


"Em, iya, Dek. Nanti kalau abang beritahu, Adek akan lebih penasaran dan banyak bertanya tentangnya. Abang hanya ndak suka aja bahas nama itu." Kini Gus Bed berbicara panjang lebar. Kali pertama kulihat wajah tampannya menunjukkan ketidaksukaan pada sesuatu.


Apa mungkin Gus membenci Raudah seperti aku membenci Fay? Apa artinya mereka punya hubungan spesial juga seperti kami? Tidak mungkin. Mereka ada di lingkungan pesantren, mana mungkin bisa bergaul bebas seperti saat kami ada di sekolah dan universitas?


Ini juga kali pertama aku merasa sebal pada Gus. 


Tinggal bilang, 'Iya, Dek. Abang kenal. Tapi abang hanya mencintaimu.' 


Bisa jadi manis. Bukannya menunjukkan sikap bahwa mereka pernah ada apa-apa. Semua itu membuat dadaku terasa sesak karena cemburu. Aku merasa dikhianati olehnya.


“Jadi intinya kenal kan, ya?” kejarku dengan nada tak suka.


"Udah, deh, Sayang. Turutin suami Adek. Bukannya istri sholehah menurut kemauan suami."


Aku menghela nafas panjang. Menyerah. Tiba-tiba ingat bahwa ucapannya adalah suatu kondisi tertentu.


Ya Rabb... sesakit ini cemburu. Padahal aku belum tahu apapun. Semuanya hanya sebatas prasangka yang berdiri rapuh.


Gus tipis tersenyum. Lega melihatku yang tidak melanjutkan keingintahuanku. Ia kembali merundukkan kepala yang mendekat, hingga rambutku berantakan karenanya.


“Ana uhibbuki ya Zaujaty….”


Ya, Gus. Setidaknya aku tahu kamu mencintaiku sekarang. Kuharap tidak ada ruang lain di hatimu untuk wanita lain. Untuk saat ini, cukup menenangkan rasa sesakku karena cemburu.


“Uhibbuk Aidhon Zauji.”


________________


Gus Bed sudah memasukkan dua koper kecil yang sudah kupersiapkan ke dalam bagasi. Dengan senang hati aku mendekatinya. 


“Ndak kelamaan kan, Bang?”


"Ndak. Ayuk buru masuk!"


Setengah berlari kakiku melangkah ke pintu depan mobil. Lalu mengambil posisi duduk dengan nyaman. Aku membuang waktu agak lama, karena merasa kram perut bawah tiba-tiba. sepertinya memang tamu bulananku akan datang. Syukurlah. Akhirnya bukan anak Fay yang kukandung.


"Siap?" tanya Gus yang sudah memutar kunci mobil.


Aku mengangguk.

"Oya, sebelum ke bandara kita mampir ke apotik dulu ya."


“Apotik?”


"Huum, adek mau beli minyak angin," jawabku. Aku tidak berbohong karena memang bermaksud membeli benda itu untuk meredakan nyeri perut. Sekalian beli tes pack buat jaga-jaga.


"Siap, Tuan Putri!" 


Aku melihat tersenyum kelakuannya. Sampai aku merasa ada yang aneh. Sesuatu yang berputar-putar di dalam perut. Aku mual.


"Huek."


“Adek ndak papa?”


BERSAMBUNG


Selanjutnya sudah tamat di KBM App 

Judul: Noda

Penulis: wafafarha93 


(***)