Chat WA Anak Tiriku

CHAT WA ANAK TIRIKU 4


Seperti biasa, satu kalimat dariku akan dibalas dengan berkali-kali lipat. Selain hobi mengetik kalimat makian yang panjang, ia juga merekam voice note untuk lebih memperjelas maksudnya. Aku memilih mengabaikan pesan pesan bernada emosi dari Mbak Rindi. Liburku hanya satu kali seminggu, Sabtu aku masih harus masuk setengah hari. Tak akan kubiarkan dia merusak hari mingguku yang seharusnya tenang.


Aku membawa Kalila ke kamar bermain sekaligus ruang kerjaku dan Mas Aris yang sesekali kami pakai jika harus membuat laporan bulanan. Posisiku sebagai manager keuangan perusahaan properti membuatku harus detail dan teliti membuat laporan yang penuh angka itu. Kutumpahkan mainan Kalila di atas karpet tebal di pojok ruangan. Boneka, Lego, dan mainan lainnya, tak lupa Cimol kuajak serta agar Kalila anteng. Hari minggu ini Mbak Tia pengasuhnya libur.


Layar laptopku mulai menyala. Menampilkan foto kami berempat sebagai wallpaper. Aku memangku Kalila yang masih bayi dan Kiran bersandar di sebelah Mas Aris. Tanpa senyum seperti biasa. Masih penasaran betapa susahnya aku mengajak Kiran untuk berfoto waktu itu.


"Ah, buat apa sih? Norak banget."


"Buat kenang-kenangan. Juga buat dipandang kalo Tante atau Papamu kangen kamu."


Kiran mencebik.


“Kalo kangen, Papa tinggal datang ke rumah.”


"Iya. Tapi Mamamu tidak selalu mengizinkan Papa membawamu," jawab Mas Aris.


"Bukannya lebih mudah kalo Papa balikan lagi aja sama Mama? Ga usah repot repot kayak gini. Aku malu tau Bisa dibilangin teman-teman punya Ibu dua."


Aku dan Mas Aris saling memandang. Mungkin ini salah satu alasan Kiran selalu begitu sinis menghadapi apapun. Bahkan candaan teman-temannya kerap di tanggapi serius. Saat itu aku mulai mempengaruhi perkembangan mental Kiran. Tapi Mbak Rindi melarangku ikut campur.


"Kiran masih punya aku. Jangan sok baik dan tak usah ikut campur mendidiknya."


Entah apa yang membuat Mbak Rindi tampak sangat membenciku. Padahal aku kenal Mas Aris jauh setelah mereka bercerai lama. Aku juga tak mengurangi jatah uang bulanan yang biasa diberikan Mas Aris meski sekarang punya Kalila. Aku tak mau ribut. Gajiku sendiri cukup bahkan kelebihan menambal kekurangannya.


Foto akhirnya berhasil diambil. Meski tanpa senyum, Kiran tetap manis. Dia mewarisi wajah cantik Mamanya. Sekaligus rautnya yang judes itu. Aku menatap sorot mata Kiran di layar laptop yang seolah menghujam langsung ke mataku. Mata itu, memancarkan kesedihan dan kesedihan yang sangat. Aku dapat merasakannya. 


"Tante akan berusaha sebisa mungkin mengembalikan fitrahmu menjadi anak yang baik. Karena sesungguhnya kau anak yang baik. Maaf kalau Tante terlambat mendekatimu, Nak."


***


Mas Aris pulang menjelang Dzuhur. Dia membawa sekantung jeruk medan untuk Kalila, mengupasnya dan dengan telaten menyuapi Kalila. Waktu makan siang satu jam lagi. Sebetulnya aku melarang Kalila makan apapun sebelum makan siang supaya dia makan dengan lahap. Tapi aku enggan menegur Mas Aris melihat raut wajahnya yang tampak lelah.


"Kiran masih ngambek?"


"Ya. Biasalah. Dia langsung nangis tadi. Minta hape baru. Ck, susah sekali memberinya pengertian," keluh Mas Aris.


"Dia belum terbiasa ditolak, Mas. Selama ini kamu dan Mbak Rindi selalu menuruti semua permintaannya dengan alasan menebus dosa. Itu membuatnya jadi anak yang egois. Tapi aku yakin pada dasarnya dia anak yang baik. Kita bisa merubahnya, ya Mas? Ini belum terlambat."


Mas Aris menatapku, tersenyum.


"Kamu benar, Dek. Aku mulai khawatir akan sikapnya. Kalau sampai dia membanting hape itu supaya rusak dan punya alasan meminta yang baru, bagiku, itu agak mengerikan."


"Jangan bilang begitu tentang anakmu. Kita tidak tahu apa yang dia rasakan."


Mas Aris terdiam. Hening beberapa saat, hanya terdengar celoteh Kalila dengan mulut penuh jeruk.


"Dek … "


Suara Mas Aris terputus, dia terdengar ragu ragu. Aku menatapnya, menanti kalimat lanjutan yang akan keluar dari mulutnya.


"Rindi minta rujuk."


***


Mama dan Papa mertuaku datang malam harinya setelah Mas Aris menelepon memintanya datang. Seharian aku mendiamkan Mas Aris, mengurung diri di kamar bersama Kalila. Moodku langsung hancur berantakan. Aku tak keberatan mengasuh dan berusaha mencintai anak tiriku, tapi permintaan rujuk Mbak Rindi bagai bom yang dijatuhkan di atas kepalaku. Dan parahnya, Mas Aris terdengar ragu-ragu, seakan dia mempertimbangkan kemungkinan itu. Padahal salah satu syarat aku menerima lamarannya adalah, aku tak mau ada perempuan kedua dalam kehidupan rumah tangga kami. Apa dia lupa?


"Mama tidak setuju, Ris. Jangan aneh-aneh. Tidak ada yang poligami di keluarga kita." Suara Mama meninggi.


"Apa kau lupa alasanmu bercerai dengan Rindi?"


Aku memasang telingaku baik baik. Selama ini aku tak pernah bertanya. Bagiku masa lalu Mas Aris tak lebih penting daripada masa depan kami. Tapi rupanya aku salah, masa lalu itu ternyata masih menghantuinya, menjadi duri yang berusaha menelusup dalam rumah tanggaku.


"Rindi itu Hedon. Gaya hidupnya tinggi. Kau nyaris kena TBC dan kurus kering menuruti semua keinginannya dulu. Pesta pesta. Clubbing. Astaga. Mama dulu malu sekali ketika teman Mama memergokinya keluar dari night club."


Oh, jadi itu alasannya. Sekarang aku tahu dari mana Kiran berguru. Ternyata bukan hanya salah Mas Aris yang selalu menuruti keinginannya. Mama kandungnya punya andil besar membentuk kepribadian Kiran.


"Aku tidak bilang akan rujuk dengan Rindi, Ma. Aku hanya menyampaikan keinginan Rindi pada Freya. Tapi istriku langsung ngambek." 


Aku melotot mendengar kalimat Mas Aris.


"Ah, kamu ini. Istri mana yang gak marah dengar hal kayak gitu? Harusnya kamu langsung jawab Rindi dengan tegas. Tidak. Titik. Gak perlu sampai ke Freya." Bela Mama.


Hatiku menghangat mendengar pembelaan Mamaku. Padahal tadinya aku khawatir Mama akan menilai sikap lebayku ini. Jujur saja, memikirkan kemungkinan Mbak Rindi masuk dalam hidup kami, membuat ma-rah. 


"Nah, Ris. Jangan sekali lagi melontarkan wacana seperti itu. Jangan coba-coba membuat perempuan sakit hati. Fatal akibatnya," ujar Papa tenang. Kulihat Mama melirik Papa sambil mengulum senyum.


"Iya, Pa. Aku hanya memikirkan Kiran."


"Bukankah dia baik baik saja selama ini? Kau masih menerima uang bulanan kan?"


"Masih, Ma. Bahkan Freya seringkali membelikan kebutuhan sekolahnya."


"Nah, jadi apa lagi yang berpikir menyakiti istrimu? Aku belajar bersyukur. Mama saja sudah sangat bahagia Freya baik pada Kiran. Berhentilah memikirkan hal yang akan menyakitinya."


Suara Mama tegas. Beliau lalu mendekatiku. Diusap usapnya bahuku penuh rasa sayang.


“Terimakasih, Ma,” ujarku lirih.


Mama tersenyum.


“Selamanya kau akan jadi menantu Mama satu satunya.”


***


(Aku tidak keberatan mengurus dan menyayangi Kiran, Mbak. Tapi jangan coba coba masuk dalam kehidupan rumah tanggaku. Aku tak akan tinggal diam)


Mengirim.


Dia pikir hanya dia yang bisa mengancam. Aku menunggu, tapi sampai aku tertidur, balasannya tak juga datang. Agak heran karena Mbak Rindi biasanya bak mercon yang langsung meledak dengan sedikit sundutan api. Jawabannya kudapatkan keesokan paginya, ketika membuka pintu, dan mendapati perempuan itu berdiri disana, lengkap dengan raut ketusnya yang biasa.


***


Chat WA Anak Tiriku, karya penulis Yazmin Aisyah, TAMAT hanya 44 bab di aplikasi kbm


Baca lebih cepat klik tautan


TAMAT || Chat WA Anak Tiriku - Yazmin_Aisyah

Freya, terjebak pernikahan dengan duda beranak satu. sementara Kiran sang anak tiri yang menolak keh...


(*"”)