Kejayaan Membuat Watak Pajajaran menjadi Sombong dan Lalai

Fakta Sejarah - Ditulis Pitu Kopi

Kejayaan Membuat Watak Pajajaran menjadi Sombong dan Lalai


Di sebuah lembah pinggiran Tatar Pasundan, berdiri megah sebuah kerajaan yang dikenal sebagai Pajajaran. Kerajaan ini, dengan ibu kotanya yang berada di Pakuan Pajajaran (sekarang Bogor), pernah mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Sri Baduga Maharaja, yang lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Di bawah kepemimpinannya, Pajajaran menjadi pusat kebudayaan, perdagangan, dan kekuatan militer di wilayah tersebut.


Masa Kejayaan

Prabu Siliwangi adalah raja yang bijaksana dan penuh visi. Di bawah pemerintahannya, Pajajaran mengalami perkembangan pesat dalam berbagai bidang. Pertanian maju pesat berkat irigasi yang baik dan tanah yang subur. Pasar-pasar di Pajajaran ramai dengan pedagang dari berbagai negeri yang menjual rempah-rempah, tekstil, dan barang-barang mewah lainnya.


Selain itu, Prabu Siliwangi juga mendorong perkembangan seni dan budaya. Sastra Sunda, tari, dan musik berkembang pesat, mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi yang ada. Benteng-benteng pertahanan dibangun untuk melindungi kerajaan dari serangan luar, dan pasukan militer Pajajaran terkenal karena keberanian dan kedisiplinannya.


Namun, di balik semua kesuksesan ini, terdapat benih-benih kesalahan yang perlahan-lahan menggerogoti kekuatan kerajaan. Kejayaan yang dicapai ternyata membawa dampak yang kurang baik pada watak para pemimpin dan bangsawan Pajajaran. Mereka mulai merasa sombong dan tak terpecah belah.Ditulis Pitu Kopi


Kesalahan dan Keruntuhan

Salah satu kesalahan terbesar yang dilakukan oleh penguasa Pajajaran adalah kurangnya perhatian terhadap ancaman yang datang dari luar. Ketika Portugis mulai masuk ke Nusantara dan menyebarkan pengaruhnya, Pajajaran tidak segera menyadari bahaya yang mengancam. Sementara itu, Kesultanan Demak dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya mulai berkembang pesat di Jawa, memperkuat posisi mereka.


Kesombongan yang muncul dari kejayaan ini membuat para pemimpin Pajajaran meremehkan ancaman tersebut. Mereka merasa posisi mereka sudah cukup kuat dan tidak perlu khawatir akan serangan dari luar. Sikap ini diperparah oleh masalah internal dalam pemerintahan Pajajaran. Korupsi dan perebutan kekuasaan di kalangan bangsawan menyebabkan ketidakstabilan politik. Selain itu, pajak yang tinggi dan tekanan terhadap rakyat kecil menimbulkan ketidakpuasan dan pemberontakan di dalam negeri.


Kerajaan Pajajaran juga gagal membangun aliansi yang kuat dengan kerajaan-kerajaan tetangga. Ketika serangan dari Kesultanan Banten yang dipimpin oleh Maulana Hasanuddin datang pada abad ke-16, Pajajaran tidak memiliki pasukan yang cukup kuat untuk melawan serangan tersebut. Maulana Hasanuddin berhasil mengalahkan Pajajaran, dan ibu kota Pakuan Pajajaran jatuh ke tangan musuh.


Ratu Dewi Sartika, yang pada saat itu berusaha mempertahankan kerajaan, terpaksa melarikan diri bersama para pengikut setianya ke wilayah pedalaman. Mereka terus berusaha melawan, namun kekuatan mereka semakin lemah.


Akhir dari Kerajaan Pajajaran

Pada akhirnya, Kerajaan Pajajaran runtuh dan ditinggalkan. Ibu kota yang megah dan pusat kebudayaan yang pernah berjaya berubah menjadi biara yang tertutup oleh hutan lebat. Rakyat Pajajaran yang tersisa tersebar ke berbagai penjuru, membawa serta kenangan tentang kejayaan masa depan mereka.


Namun, meskipun kerajaan itu telah hilang, warisan budaya Pajajaran tetap hidup. Kisah-kisah tentang Prabu Siliwangi dan kehebatan Kerajaan Pajajaran terus diceritakan dari generasi ke generasi. Seni, sastra, dan tradisi yang berkembang pada masa kejayaan Pajajaran tetap menjadi bagian penting dari budaya Sunda hingga saat ini.


Demikian pula, kisah Kerajaan Pajajaran mengajarkan kita tentang kewaspadaan terhadap ancaman luar dan menjaga stabilitas internal. Kesombongan yang timbul dari kejayaan bisa menjadi awal dari kehancuran. Meskipun kesalahan dan keruntuhan tidak dapat dihindari, warisan budaya dan sejarah Pajajaran tetap hidup dalam hati dan ingatan rakyat Sunda.



(***)