GUNDIK BELANDA DI ACEH



Catatan mengenai wanita Aceh yang dijadikan Gundik oleh para Perwira Belanda dicatat dalam buku Karya Zentgraf yang berjudul "De Atjeh", dalam bukunya ia mencatat, bahwa ketika hubungan Sosial Belanda dan Pribumi Aceh kian meningkat seiring ekspedisi Belanda yang menjangkau pedalaman hingga menumpas para Grilyawan, para Perwira Belanda banyak menjadikan wanita Aceh sebagai Gundiknya. 


Menariknya, dalam buku tersebut juga dikisahkan mengenai tujuan mereka menjadikan wanita Aceh sebagai Gundiknya, adapun tujuan salah satunya adalah "Mempelajari Bahasa dan Budaya Aceh" sementara tujuan puncak dari Praktek Pergundikan.


Gundik Asal Aceh yang paling terkenal dalam sejarah Aceh adalah wanita yang disebut sebagai Istri "Panglima Ulee Lheu Mugoe", ketika suaminya berjuang menjadi Grilyawan, wanita tersebut dijadikan sebagai Gundik Perwira Belanda, mirisnya Gundik Aceh itu kemudian membocorkan persembunyian suaminya kepada Kekasih Belandanya, sehingga dari peristiwa tersebut Suami sahnya dapat ditangkap oleh Belanda. 


Zuftazani dalam De Atjeh Oorlog (hlm, 438) menyebutkan "Seorang Perwira Belanda yang mempunyai Gundik dari Wanita Aceh, yang mana Gundik itu tidak mengurangi rasa hormatnya pada permohonan walaupun seorang Kafir, ini adalah sebuah kenyataan bahwa Aceh mempunyai lembaran hitam dalam sejarah menentang penjajahan Belanda, Wanita Aceh yang menjadi Gundik Belanda itu tidak hanya menjual kehormatannya tetapi juga menjual Agamanyaā€¯.


Tidak dapat dipungkiri, bahwa hasil Pergundikan antara Perwira Belanda dan Wanita Aceh sisa-sisanya masih dapat dilihat sampai sekarang dari sebaran penduduk Aceh yang mempunyai darah keturunan Belanda, mereka umumnya bermata biru dan berkulit putih, hanya saja guna menutupi malu mereka terkadang menyebut sebagai keturunan Portugis yang dahulu pernah singgah di Aceh (Kapal Portugis Karam di Aceh) dan ada juga yang beralasan ketika Portugis menakluk Pasai pada Tahun 1521.


Alasan tersebut tentu tidak dapat dibenarkan sepenuhnya, mengingat jarak Kedatangan Portugis ke Aceh sangat jauh sekali (Aabad 16-17), sehingga jika keturunan Portugis itu kawin mengawin dengan penduduk lokal secara terus menerus selama beberapa genarsi akan hilang kekhasan darah dan ciri-ciri ke Eropannya, berbeda. dengan Belanda yang baru datang ke Aceh pada abad 19, jelas keturunan hasil Perkawinan antara Perwira Belanda dan Gundik Acehnya itu secara genetik masih dapat dilihat di Abad 21 ini. 


Orang-orang keturunan Eropa di Aceh biasanya disebut dengan istilah "Bulek Lamno", umumnya mereka dianggap sebagai keturunan Portugis, tanpa sama sekali menyebut jika nenek moyang mereka merupakan hasil Kawin Campur antara Perwira Belanda dengan wanita Aceh yang dijadikan Gundik tuan Belandanya.


(***)