Kurikulum Merdeka

Oleh. Zulfikri Anas*

Plt. Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Kemendikbudristek

 

JejakNTB.com | Mendidik adalah pembimbing dalam melewati perjalanan dari dalam hati ke arah beragam cara yang benar untuk melihat dunia dan menjadi seseorang dalam kehidupan, demikian ungkapan Parker J Palmer (1997). Ini dinyatakan, pendidikan tak dapat dilepaskan dari fitrah manusia sebagai makhluk berpikir, memiliki nurani, rasa, dan emosi. Fitrah menjadi sumber kekuatan bagi manusia beradaptasi di segala kondisi.

Sebagai makhluk pemelajar, seseorang
makin matang sejalan dengan berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi. Tujuan pembelajaran, menguasai hal baru dan yang menjadi pusat perhatian mencapai strategi belajar. Saat ada ketidaklancaran, itu tak berhubungan dengan kecerdasan murid.Ini berarti strategi yang tepat belum ditemu-
kan Teruslah mencari (Carol SDweck: /2000).

Maka itu, hakikat kurikulum menyediakan pilihan pengalaman belajar agar setiap anak mampu menemukan cara tepat mengasah kemampuan kemanusiaannya sesuai kekuatan, gaya belajar, minat, bakat, dan potensi unik mereka. Engku Sjafei (1926), pendiri INS Kayutanami, Sumatra Barat, menyatakan, “Pendidikan adalah upaya membangkitkan minat siswa agar berkemauan keras untuk memilih
sendiri jalan hidupnya. Penyeragaman jenis, level, dan materi Kurikulum untuk seluruh sekolah di mana pun lokasinya, mengakibatkan penyeragaman kualitas dan wawasan manusia. Akibat selanjutnya memusnahkan kera-
gaman manusia itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan kodrat alam sebagai ciptaan Tuhan. Kritiknya terhadap pendidikan, jangan minta buah mangga dari pohon rambutan.

Respon inj terhadap corak pendidikan
pada masa itu, yang hanya mengutamakan intelektual dan verbalistis, suatu pendidikan
yang hanya menghasilkan pegawai rendahan.

Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajar
yang membutuhkan penguasa pada saat itu. Ki Hajar Dewantara (1936) menegaskan, peran pendidikan dalam mendekakan manusia, “Hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kemampuan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makh-
luk, sebagai manusia, sebagai benda hidup, teranglah yang hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak itu tiada lain ialah segala kekuatan dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu, yang ada karena kekuatan kodrat. Kesukaan yang dikenakan
terhadap caranya anak-anak berpikir, jangan selalu dipelopori atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikiran-nya
sendiri”.

Demikian kuatnya fondasi pendidikan
memerdekakan yang dibangun pendahulu kita. Namun, dalam perjalanannya, mengapa pendidikan seperti dipaksa mengingkari maknanya sendiri?
Kurikulum seperti menjadi belenggu
kreativitas guru dan memberatkan beban
belajar anak. Ini tergambar dari ungkapan guru ketika ditanya apa yang terlintas pertama kali dalam pikiran mereka ketika mendengar kata kurikulum. Jawaban spontan yang muncul adalah ribet, rumit, padat, kaku, dan membuat otak eror. Ada apa dengan kurikulum? Mengapa semua anak mendapatkan materi sama, pengalaman seragam, tugas serta pengukuran
atau penilaian yang sama? Mengapa mereka dipaksa menjadi konsumen dalam pendidikan, bukan produsen
yang aktif berkarya sambil mengasah potensi diri?

Hampir dua tahun, anak-anak belajar dari rumah. Bayangan kita, saat ini kamar dan rumah-rumah dipenuhi karya nyata anak sebagai hasil belajar. Ada gambar, puisi, cerita, laporan observasi, film pendek, reportase, ringkasan dan resensi buku, juga lukisan. Semoga ini bukan hanya jadi impian para pendamba pendidikan hakiki. Kesalahan fatal
kita adalah ketika merasa peduli atas pendidikan anak-anak dengan membimbing mereka mencapai titik tertentu.

Seharusnya, kita mendampingi mereka
untuk mampu terus belajar dengan cara kondusif untuk menemukan titik tak terhingga, dan mungkin sama sekali tak ada dalam bayangan kita saat ini (Alfie Kohn: 2009).

Kondisi ini membuat bangsa kita mengalami
krisis pendidikan berkelanjutan. Ini berdampak sistem terhadap pencapaian kemampuan anak secara keseluruhan, sisi kemanusiaannya pelan-pelan hilang.

Inidiperparah pandemi Covid-19.
Kurikulum pada masa darurat yang di-
kembangkan Kemendikbudristek melahirkan harapan, mengurangi kepadatan materi, melonggarkan aturan, guru diwajibkan menuntaskan kurikulum. Membuat guru memperoleh ruang cukup mendampingi setiap anak.
Ini dilanjutkan melalui Kurikulum Prototipe
, salah satu opsi untuk pemulihan pembelajaran. Tiga isu utama diusung kurikulum ini. Pertama, proyek berbasis pembelajaran untuk pengembangan soft skill dan karakter.

Kedua, fokus pada materi esensial hingga
cukup waktu pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar, seperti literasi dan numerasi. Ketiga, keleluasaan bagi guru dalam pembelajaran sesuai kemampuan murid dan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.

Sebuah perubahan berani dalam kebijakan pendidikan, memberikan pilihan, bukan perintah yang wajib. Rupanya, menyadari kekeliruan pemerintah selama ini,
perintah wajib menjadikan kurikulum sebagai kurungan. Selamat datang kurikulum merdeka. (***)