LEGENDA PUTERI HIJAU & MARIAM PUNTUNG



Abad 15 dan 16 adalah periode paling berdarah di zona dataran rendah Aceh, Sumatera Timur, dan semenanjung Malaysia. Empat kerajaan saling bantai, berkonspirasi, dan saling menaklukkan untuk memperebutkan kekuasaan di zona perdagangan internasional yang kini dikenal dengan Selat Malaka. Di tengah kecamuk perebutan kue ekonomi itu, di tepian sungai Deli–tepatnya sekitar 9 km dari Labuhan Deli–lahirlah sebuah legenda klasik bernama Puteri Hijau.


Puteri Hijau dikenal sangat cantik jelita, sehingga Raja Aceh yang dikisahkan tidak tahan melihat wanita yang cantik-cantik kemudian meminangnya, tapi karena sang Putrei Tahu jika Raja Aceh mata Keranjang, ia menolaknya. 


Penolakan membuat Raja Aceh betul-betul dilanda murka. Ia merasa diri dan kerajaannya dihina sehingga jatuhlah perintah untuk segera menyerang benteng Puteri Hijau. Tapi karena bentengnya sangat kokoh, pasukan Aceh gagal menembusnya.


Menyadari jumlah pasukannya makin menyusut setelah banyak yang hilang, panglima-panglima perang Aceh memakai siasat baru. Mereka menyuruh prajuritnya menembakkan ribuan uang emas ke arah prajurit benteng yang bertahan di balik pintu gerbang. Suasana menjadi tidak terkendali karena para penjaga benteng itu berebutan uang emas dan meninggalkan posnya. Ketika mereka tengah sibuk memunguti uang logam, tentara Aceh menerobos masuk dan dengan mudah menguasai benteng.


Pertahanan terakhir yang dimiliki orang dalam adalah salah seorang saudara Puteri Hijau, yaitu Meriam Puntung. Tapi karena ditembakkan terus-menerus, meriam ini menjadi panas, meledak, terlontar, dan terputus dua. Bagian moncongnya tercampak ke Desa Sukanalu Simbelang, Kecamatan Barusjahe. Sedangkan bagian sisanya terlontar ke Labuhan Deli, dan kini ada di halaman Istana Maimoon Medan.


(***)