JAM GADANG BUKITTINGGI



Jam Gadang adalah salah satu bangunan peninggalan Hindia Belanda, jam yang saat ini menjadi ikon kota Bukittinggi Sumatera Barat.


Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi). Jam Gadang selsai dibangun pada tahun 1926.


Menelan dana 3000 Gukden, jam ini Arsitekturnya dirancang oleh orang Minangkabau, Yazid Abidin Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh. Bangunan jam berbentuk menara setinggi 26 meter ini terdiri dari empat tingkat. Konstruksinya konon tanpa semen melainkan kapur, putih telur, dan pasir putih.


Tingkat pertama menjadi ruangan petugas. Untuk tingkat kedua, menjadi tempat perangkat mekanik jam berupa dua bandul yang berfungsi pemberat jam.


Lalu, pada tingkat ketiga, menjadi tempat dari mesin jam. Tingkat keempat merupakan puncak menara sekaligus lonceng jam Ditempatkan. Pada lonceng di puncak tersebut tertera nama dari produsen mesin jam yakni Vortmann Recklinghausen, Jerman. Pada tingkat keempat juga terlihat jam ada pada empat sisi mata angin.


Menariknya, selai yang melekat pada Jam Gadang adalah edisi terbatas yang diproduksi Vortmann Recklinghausen, yakni dua unit. Selain Jam Gadang, mesin jam ini juga menjadi penanda waktu di Big Ben, Inggris.


Angka empat berhuruf romawi juga menjadi ciri khas jam itu.


DIRUBAH 3 KALI ATAPNYA


Jam Gadang bukan hanya penanda waktu dalam arti sesungguhnya, melainkan juga penanda zaman. Meski mulanya hadiah untuk pribadi, ia menjadi simbol Bukittinggi dari masa ke masa. Ikonnya berupa tudung, selalu berubah sesuai jiwa zaman, siapa yang berkuasa.


Pada masa Hindia Belanda, tudungnya berbentuk kubah kerucut bersegi khas Eropa, dimana dihiasi oleh ornamen Ayam Jantan.


Pergantian kekuasaan ke tangan Jepang periode 1942-1945, berdampak pada Jam Gadang. Oleh Jepang, tudungnya pun diubah dengan bentuk seperti pagoda.


Setelah kemerdekaan diraih, Jam Gadang kemudian berkopiahkan gonjong, arsitektur khas Minangkabau.



(***)