Arthur Rimbaud Adalah Penya
Penyair Prancis Arthur Rimbaud Melarikan Diri Ketika Mau Di Kirim Bertempur Ke Aceh.
Arthur Rimbaud (dibaca: artcur rambo), dikenal sebagai penyair kenamaan Prancis abad ke-19.
Ia lahir di Charleville, Prancis, pada tanggal 20 Oktober 1854.
Sewaktu usianya baru 15 tahun, Rimbaud menjadi sastrawan termuda dan terbaik pada zamannya karena puisinya memenangkan hampir seluruh kompetisi akademik sastra di Paris.
Pada tahun 1873, ia menulis antologi puisi Saison Un Enfer/A Season In Hell (Semusim di Neraka) yang berpengaruh bagi para penyair dan seniman pada masa selanjutnya, mulai dari Patti Smith, André Breton, hingga Jim Morrison.
Hariku telah berakhir
Aku meninggalkan Eropa
Udara lautan akan membakar paruku
Iklim yang hilang akan membakar kulitku
Penggalan puisi dalam antologi puisi Semusim di Neraka itu seolah menjadi pertanda nasib Rimbaud karena tiga tahun kemudian ia berkelana ke Pulau Jawa.
Rimbaud yang meninggalkan kehidupan mewahnya sejak tahun 1875 hidup menggelandang.
Tidak punya uang, tetapi mempunyai keinginan untuk melakukan perjalanan jauh membuat Rimbaud memilih menjadi serdadu bayaran.
Bukan serdadu Prancis, melainkan serdadu Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) alias seradu kerajaan Hindia-Belanda.
Alasannya sederhana, serdadu Prancis hanya dikirimkan ke benua Afrika yang dekat dengan benua Eropa.
Sementara itu,Rimbaud ingin berkelana ke wilayah yang lebih jauh, yakni Asia, khususnya saat itu Pulau Jawa yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda.
Ketimbang berpanas-panasan di Afrika, Rimbaud memilih Pulau Jawa sebagai surga tropis bagi orang-orang Eropa.
Pada tanggal 18 Mei 1876, Rimbaud akhirnya datang ke Harderwijk, Belanda, untuk mendaftar sebagai calon serdadu KNIL dan diterima.
Jean Rocher, penulis buku KNIL, Perang Kolonial di Nusantara dalam Catatan Prancis yang dibuatnya bersama wartawan Kompas, Iwan Santosa, menyebut Rimbaud ketika masuk KNIL mendapatkan uang sebesar 300 gulden.
“Jumlah itu setara dengan gaji setahun buruh,” kata Jean Rocher pada acara bedah bukunya pada tahun 2016.
Rimbaud dan serdadu lainnya kemudia menumpang kapal Prins van Oranje yang melakukan perjalanan panjang dari Pelabuhan Den Helder pada 10 Juni 1876.
Melintasi Terusan Suez, Laut Merah, Padang, akhirnya Rimbaud tiba di Pulau Jawa, tepatnya di ibu kota Hindia Belanda, Batavia (sekarang Jakarta), pada tanggal 22 Juli 1876 (beberapa sumber menyebut 21 Juli dan 23 Juli).
Pada tanggal 2 Agustus 1876, Rimbaud dan serdadu lain tiba di Semarang, Jawa Tengah, yang kemudian bertolak ke barak di Tuntang, Salatiga, menumpang kereta api Nederland-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS).
Di sini Rimbaud mengalami pergolakan batin karena harus melihat kompatriotnya, Auguste Michaudeau meninggal akibat penyakit mistertius saat tiba di tangsi Tuntang.
Nyali Rimbaud sebagai serdadu semakin menciut karena ia baru menyadari kesatuannya akan diberangkatkan sebagai prajurit tempur untuk Perang Aceh.
Cerita tentang kegigihan pejuang Aceh dan banyaknya korban dari kesatuan membuat Rimbaud memilih desersi.
''Apapun alasan desersinya jelas Arthur Rimbaud tidak memiliki temperamen yang cocok untuk kehidupan militer. Setelah tujuan mengunjungi Jawa tercapai, ia tentu memutuskan untuk pulang secepat mungkin ke Eropa,'' tulis Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Perancis, dari abad XVI sampai dengan abad XX.
Rimbaud yang memilih desersi berpura-pura meminta izin untuk beribadah.
Ia lari ke Pelabuhan Semarang menggunakan dokar hingga bertemu dengan pelaut Inggris dan meminta agar diizinkan ikut berlayar kembali ke Eropa.
Rimbaud pun tiba di Prancis pada 9 Desember 1876.
Jejak sejarah Rimbaud di Jawa terbilang minim, tetapi bukan berarti tidak bisa ditemui.
Sebuah prasasti yang menjelaskan peringatan kehadiran Rimbaud bisa ditemui di Rumah Dinas Wali Kota Salatiga, tempat ia melakukan desersi dari KNIL.
_____
Referensi: Detik.com | Algemeen Handelsblad | Jamie James, "Rimbaud di Jawa: Pelayaran yang Hilang" | Bernard Dorleans, "Orang Indonesia & Orang Perancis, dari abad XVI sampai dengan abad XX" | Benedict Anderson, "Era Globalisasi: Anarkis dan Imajinasi Antikolonial" | Dennys Lombard, "Nusa Jawa Silang Budaya 1"
(***>