Mpu Purwa : Sang Penempah Takdir

Di lereng Gunung Lawu, jauh dari keramaian-pikuk kerajaan, hiduplah seorang empu yang namanya jarang disebut di balairung istana, namun dihormati hingga pelosok desa — Mpu Purwa. Rambutnya telah memutih, namun matanya masih setajam bilah keris yang ditempanya.
Setiap fajar, dentang palu besi di bengkel sederhana menyatu dengan kicau burung dan desir angin gunung. Namun, bagi Mpu Purwa, ia tidak hanya menempa besi… ia menempa takdir. Setiap keris yang ia buat bukan sekadar senjata, melainkan titipan doa, harapan, dan nasib pemiliknya.
Suatu hari, datanglah seorang pemuda yang membawa luka di hati Arya Kamandanu. Dikhianati oleh saudara, kehilangan kekasih, dan diasingkan dari istana, Arya datang mencari pedang untuk membalas dendam. Tapi Mpu Purwa hanya tersenyum tipis.
“Besi panas bisa kutempa menjadi senjata… tapi hatimu, Nak, hanya kau yang bisa menempa,” ujar sang empu.
Hari demi hari, Arya diajari bukan hanya teknik berpedang, tetapi juga tentang kehormatan, kesabaran, dan pengendalian diri. Di tangan Mpu Purwa, Arya bukan hanya menjadi pendekar… ia menjadi pejuang sejati.
Namun, legenda mengatakan… keris terakhir yang ditempa Mpu Purwa tidak pernah digunakan untuk membunuh. Keris itu hanya akan mengeluarkan mata bilahnya jika dipegang oleh orang yang hatinya bersih. Keris itu kini hilang entah di mana… menunggu pemilik aslinya.
Dan begitulah, Mpu Purwa tak hanya meninggalkan besi dan baja… ia meninggalkan warisan yang jauh lebih kokoh: nilai, kebijaksanaan, dan kisah hidup dari mulut ke mulut.
(***)