Kejujuran ditengah mencukupi

Hujan deras baru saja reda ketika Nayla turun dari bus kota di halte tua depan sekolahnya. Jalanan masih mengilap, mengumpulkan udara memantulkan cahaya lampu kendaraan yang melintas. Seragam putih abu-abu Nayla basah di ujung rok, rambut lembap menempel di pipi. Ia menutup tas subur yang selalu ia bawa ke sekolah, berharap buku-buku di dalamnya tidak ikut basah.
Pandangan Nayla tiba-tiba tertumbuk pada sebuah benda di bangku halte, dompet kulit hitam. Bukan dompet sembarangan, terlihat mahal, rapi, dan agak terbuka.
Ia menoleh ke kanan dan kiri. sepi. Penumpang lain yang tadi turun sudah menghilang mencari tempat berteduh. Dengan jantung berdebar, Nayla meraih dompet itu. Berat. Saat dibuka, matanya terbelalak. Lembaran ratusan ribu tersusun tebal. Ia menghitung dengan cepat, ada lebih dari sepuluh juta rupiah.
Di sela uang, ada kartu identitas:
Arga Prasetya
Direktur Utama PT Lestari Jaya.
Tangan Nayla bergetar. Perutnya terasa mulas. Ia langsung teringat wajah ibunya yang tiap malam menghitung uang receh hasil penjualan gorengan di depan rumah. Ingat ayah yang baru saja di-PHK dari pabrik dan kini jadi kuli bangunan. Ingat adiknya yang duduk di kelas 4 SD, sering mengeluh lapar karena uang jajan dipotong untuk beli beras.
“Kalau uang ini kupakai… sedikit saja… siapa yang tahu?” pikir Nayla, menelan ludah.
Gerimis kembali turun, mengenai atap halte, seakan menenggelamkan hati nurani. Tapi kemudian, kata-kata ibu yang sering ia dengar selepas shalat Maghrib terngiang:
"Nak, jangan pernah mengambil yang bukan milikmu. Sekecil apa pun, itu akan jadi racun dalam hidupmu."
Nayla menutup dompet itu rapat, menggenggamnya kuat-kuat. Kakinya melangkah cepat masuk ke sekolah.
Sementara itu, di sebuah rumah besar di kawasan elit, Arga Prasetya duduk dengan wajah pucat. Dompetnya hilang. Semua kartu, uang tunai, dan dokumen penting ada di sana. Ia panik bukan hanya karena uang, tapi karena di dalam dompet itu ada surat perjanjian kerja sama bernilai miliaran yang harus ia tandatangani sore itu.
Ponselnya tiba-tiba berdering. Nomor tak dikenal.
Halo, benarkah ini Pak Arga Prasetya? suara seorang gadis terdengar pelan, sedikit gemetar.
“Ya, benar. Siapa ini?”
“Saya Nayla, siswi SMA Citra Bangsa. Saya menemukan dompet Bapak di halte depan sekolah.”
Arga menoleh, membelalak. Ia berdiri spontan. "Nak… tolong jangan ke mana-mana. Saya segera ke sana."
Tak lama kemudian, Arga tiba di sekolah itu. Mereka bertemu di ruang guru. Dengan kedua tangannya bergetar, Nayla menyerahkan dompet itu. Lengkap. Tak ada satu lembar pun yang hilang.
Arga membuka dompetnya, lalu menatap Nayla lama. “Nak, uang ini bisa membayar biaya sekolahmu bertahun-tahun. Kenapa kamu tidak memasukkannya?”
Nayla menunduk. Suaranya lirih, hampir tak terdengar. “Ibu saya selalu bilang… uang haram itu seperti duri. Walau kecil, akan terus menusuk hati. Saya takut, Pak.”
Arga menahan napas, sesak. Ia teringat anak-anaknya sendiri yang kini bersekolah di luar negeri, hidup serba cukup, tetapi sering ia khawatirkan nilai moralnya. Sementara gadis sederhana di depannya, dengan sepatu yang sudah rusak, mampu menjaga kejujuran di tengah keadaan sulit.
“Terima kasih, Nak. Kamu baru saja menyelamatkan banyak hal, bukan hanya uang ini, tapi juga keyakinan saya… bahwa masih ada orang jujur ??di dunia ini.”
Beberapa hari berlalu. Nayla kembali ke rutinitasnya. Ia tidak berharap apa pun dari perbuatannya. Hingga suatu saat, ketika ia baru pulang dari membantu ibunya berjualan, seorang pria datang dengan mobil hitam di depan rumah kontrakan mereka. Supir pribadi Arga.
“Nayla, ini ada titipan dari Pak Arga,” ucapnya sambil menyerahkan sebuah amplop coklat.
Dengan hati-hati, Nayla membukanya. Bukan uang. Melainkan surat resmi beasiswa penuh dari yayasan pendidikan milik Arga. Biaya sekolah, buku, hingga uang saku ditanggung sampai ia lulus.
Ada secarik kertas kecil dengan tulisan tangan Arga:
"Kejujuranmu adalah tiketmu ke masa depan. Jika suatu hari kamu membutuhkan pekerjaan, datanglah ke kantorku. Pintuku selalu terbuka untukmu."
Nayla menatap kertas itu lama. Air matanya jatuh, tapi kali ini bukan karena kesedihan, melainkan karena rasa syukur.
Kadang-kadang, ujian terbesar bukanlah saat kita kekurangan, tapi saat kita punya kesempatan untuk mengambil jalan pintas. Dan sering kali, keputusan kecil untuk tetap jujur ??justru membuka pintu rezeki yang tak pernah kita bayangkan.
(***)