Kais Rezeki Sambil Merangkak, Kakak Adik Difabel Bertahan Hidup Jadi Buruh Tani

Dunia ini terasa tak adil bagi Asep dan Ade. Sejak usia 3 tahun, kedua kakak beradik ini harus menerima takdir yang berat: tubuh mereka tak lagi bisa berjalan. Serangan kejang yang berulang-ulang membuat kaki mereka mengecil dan tak mampu menopang tubuh. Orang tua mereka sempat berupaya membawa pengobatan, namun keterbatasan biaya dan jarak dari layanan kesehatan membuat harapan perlahan sirna. Sejak saat itu, hari-hari mereka berubah untuk selamanya.
Namun ujian belum berhenti di sana. Beberapa bulan yang lalu, ibu mereka meninggal dunia. Kini, Asep dan Ade hanya hidup bertiga bersama ayah mereka, Pak Apen, yang telah berusia lanjut. Di usia orang tuanya, Pak Apen tidak hanya harus mengurus dua anak penyandang disabilitas, tapi juga menanggung semua beban hidup sendirian.
Di tengah segala keterbatasan itu, Asep tetap berusaha mandiri. Ia menanam singkong dan umbi di kebun kecil depan rumahnya. Kadang-kadang, ia menerima upah harian sebagai buruh kebun milik tetangga. Meski tubuhnya tak mampu berdiri, ia tak mau menyerah. “Kalau saya bisa bantu sedikit saja Ayah, saya senang,” katanya pelan.
Sementara Ade — sang adik — lebih sunyi lagi. Tak hanya tak bisa berjalan, Ade juga mengalami gangguan pendengaran. Dunia seolah menjadi ruang bisu dan sepi dia. Ia sangat membutuhkan alat bantu dengar, tapi jangan membenarkannya, untuk makan sehari-hari saja sering tak cukup.
Di tengah kondisi yang jauh dari layak, rumah mereka tetap menjadi tempat berteduh seadanya. Tanpa fasilitas khusus, tanpa kursi roda, dan tanpa pendampingan medis. Tapi mereka tetap menjalani hari demi hari. Bukan karena mudah. Tapi karena tidak punya pilihan.
(***)