Sepasang Sandal Butut yang Jadi Saksi Perjuangan Ayah.



Penulis : Koko

Gambar dibuat : Koko


??Cerita.


Di sudut rumah sederhana, ada sepasang sandal butut yang selalu rapi. Warnanya sudah pudar, talinya hampir putus, dan bagian bawahnya sudah tipis. Namun sandal itu bukan sembarang sandal. Ia adalah teman setia seorang ayah yang setiap hari pergi bekerja, menempuh jalan panjang penuh debu dan batu.


Setiap kali matahari terbit, terdengar suara sandal yang tergeletak di lantai, tanda ayah bersiap untuk berangkat. Meski usang, sandal itu selalu menemaninya, seolah menjadi saksi bisu perjuangan yang tak pernah terlihat mata.


Bagi keluarga, sandal itu hanyalah benda tua yang usang. Tetapi bagi ayah, sandal itu sudah seperti kaki keduanya—menyimpan jejak langkah perjuangan demi orang-orang yang ia cintai.


Setiap pagi, ayah berangkat dengan langkah pasti. Sandal butut itu menapak jalan berbatu menuju pasar. Dengan pikulan di pundaknya, ia menjual hasil kebun yang tak seberapa, berharap bisa membawa pulang beras untuk makan anak-anaknya.


Kadang hujan deras mengguyur, membuat sandal itu basah kuyup. Kadang-kadang panas terik membakar aspal, membuatnya semakin tipis dan terbakar. Namun sandal itu tak pernah mengeluh, sama seperti pemiliknya yang selalu tersenyum meski lelah.


Setiap goresan dan retakan di sandal itu adalah bukti nyata betapa beratnya perjuangan seorang ayah. Ia tak pernah meminta pengakuan, hanya ingin keluarganya bisa makan dan anak-anaknya bisa sekolah.


Di balik senyum ayah, ada luka yang tak pernah terungkap. Telapak kakinya sering melepuh karena sandal yang tipis tak mampu lagi melindungi. Kadang-kadang ia pulang dengan kaki berdarah, namun ia sembunyikan dengan senyuman agar anak-anaknya tak khawatir.


Sandal butut itu menjadi saksi bagaimana ayah rela menahan sakit demi mengais rezeki. Ia tak pernah mengeluh soal hidup yang keras, meski hatinya perih melihat anak-anaknya sering menunggu makanan yang terlambat datang.


Setiap langkahnya adalah doa. Setiap luka di telapak kaki adalah bukti cinta yang tulus. Dan sandal itu, meski diam, merekam semuanya.


Suatu hari, sandal butut itu benar-benar patah ketika ayah sedang berjalan pulang. Malam gelap, hujan deras mengguyur, namun ayah tetap melangkah dengan kaki telanjang, menggenggam sandal yang rusak di tangan.


Sesampainya di rumah, anak-anak menyambut dengan riang meski hanya ada bungkus kecil makanan. Mereka tak tahu, di balik senyuman itu, ayah menahan sakit di kakinya yang berdarah. Ia hanya berkata, “Tak apa… yang penting kalian bisa makan malam ini.”


Sandal itu patah, tetapi semangat ayah tak pernah retak. Justru di saat itulah, keluarga menyadari betapa besarnya cinta yang selama ini ia berikan dalam diam.


Kini, sandal itu tak lagi dipakai. Ia berada di sudut rumah, usang dan hancur. Namun bagi anak-anaknya, sandal itu lebih berharga dari emas. Ia menjadi simbol perjuangan, pengorbanan, dan cinta seorang ayah yang tulus tanpa pamrih.


Setiap kali menatap sandal itu, mereka teringat wajah ayah yang penuh peluh, namun selalu tersenyum. Mereka belajar bahwa kasih sayang tak selalu ditunjukkan dengan kata-kata, melainkan dengan langkah kaki yang tak kenal lelah, meski hanya beralas mengungkapkan sandal butut.


Sandal itu mungkin sudah mati, tapi kisah perjuangan ayah akan selalu hidup dalam hati anak-anaknya.


? Pertanyaan :


Apakah kita sudah benar-benar menghargai setiap langkah kecil perjuangan orang tua kita, sebelum mereka benar-benar berhenti melangkah?


("***)