Pelukan Terakhir Sebelum Kepergian yang Abadi.


Penulis : Alvan

Gambar dibuat : Alvan


??Cerita...

Pagi itu, suasana rumah terasa sama seperti biasanya. Ayah duduk di kursi rotan tua sambil menatap halaman, sementara anaknya, Rendra, bersiap berangkat sekolah.


“Sudah sarapan?” tanya ayah dengan suara lembut namun lemah.

“Belum, Yah. Nanti di sekolah saja,” jawab Rendra cepat, sambil merapikan tasnya.


Ayah hanya tersenyum, seolah sudah terbiasa dengan jawaban itu. Tidak ada yang menyangka, hari itu akan menjadi hari yang berbeda dari biasanya. Hari yang menyimpan luka paling dalam.

Beberapa hari belakangan, tubuh ayah semakin ringkih. Nafasnya pendek, langkahnya lambat, namun ia selalu berusaha terlihat tegar di depan anaknya.


Rendra sebenarnya sering melihat ayahnya menahan sakit. Namun ia tak pernah berani bertanya lebih jauh. Dalam hatinya, ia ingin berkata banyak hal: tentang rasa terima kasih, tentang rasa sayang, tentang kebanggaan memiliki ayah sebaik itu.


Tapi kata-kata itu selalu tertahan di tenggorokan, kalah oleh kesibukan dan gengsi seorang anak muda.


Malam itu, ayah memanggil Rendra yang baru pulang. “Nak, bisa ke sini sebentar?” suaranya terdengar pelan.


Rendra mendekat, lalu duduk di samping ayah. Tanpa banyak kata, ayah membuka tangannya, seolah meminta sebuah pelukan.

Rendra, yang biasanya enggan, kali ini tanpa ragu mendekap ayahnya erat. Tubuh ayah terasa dingin, namun hangat di hati. Air mata hampir jatuh, tapi ia menahannya.


“Ayah bangga sama kamu…” bisik ayah lirih.

Pelukan itu lama, seolah waktu berhenti, seolah ada pesan yang ingin dititipkan lewat detak jantung terakhir.


Esok paginya, rumah berubah menjadi lautan duka. Ayah sudah tiada. Nafasnya berhenti dalam tidur yang tenang.


Rendra tertegun, gemetar. Tangis pecah ketika ia menyadari: pelukan semalam adalah pelukan terakhir. Pelukan yang tak akan pernah ia rasakan lagi seumur hidup.


Ia menjerit dalam hati, berharap bisa memutar waktu, berharap bisa memeluk lebih lama, berharap bisa mengucapkan selamat atas semua kata yang tertahan. Namun semua sudah terlambat.


Hari-hari setelahnya, Rendra sering duduk di kursi rotan ayah. Ia memeluk bantal seolah-olah tubuh ayahnya, mencoba merasakan kembali hangatnya dekapan terakhir itu.


Kini ia sadar, pelukan bukan hanya soal fisik, tapi juga warisan rasa yang abadi. Pelukan terakhir ayah menjadi kekuatan, menjadi pengingat bahwa cinta tak pernah mati, hanya berpindah tempat: dari pelukan dunia, ke pelukan doa.


Dan setiap kali rindu itu datang, Rendra menutup mata, membayangkan pelukan itu kembali, seolah ayah masih ada di sisinya.


?Pertanyaan:

Apakah kita sudah cukup sering memberi pelukan pada orang yang kita cintai, sebelum semua hanya bisa dikenang tanpa pernah bisa diulang kembali?


(***)