Siapa yang menyakitimu? Katakan

Bagian 8
"Siapa yang menyakitimu? Katakan!"
Mas Han menatapku lekat.
Ada api amarah yang berkobar di penampilan mata tajamnya. Tangannya mengepal, serta menggerakkannya.
"Mbak Vivi?" tanyanya lagi.
Aku pun mengangguk pelan. Pria itu membantuku duduk, lalu merengkuh kepalaku ke dalam dekapannya. Ada ketenangan yang aku rasakan.
“Siapapun yang menyakitimu, tidak akan aku membiarkan hidupku tenang,” bisiknya.
Dalam hati, aku berharap Mas Han benar-benar memiliki keberanian dan kemampuan sesuai dengan apa yang dia katakan. Meski sejujurnya, saya tidak tahu Mas Han akan mendapatkan keduanya dari mana.
Selama ini, bahkan ketika kakak-kakakku menghinanya, dia diam saja. Tidak pernah melakukan perlawanan.
"Ayo, bangun. Aku bawa nasi bungkus."
Aku bangkit. Ternyata Mas Han membawa dua nasi bungkus yang sudah diletakkan di atas meja makan. Dia pulang lebih awal dari biasanya. Masih pukul tiga sore kurang.
Setelah berada di dekat meja makan, saya memandangi pria itu yang sedang mengambiil piring sebelum akhirnya meletakkan dua bungkus nasi yang dibelinya.
Untuk berbicara, aku masih enggan. Pikiranku belum seutuhnya terpaling dari apa yang telah dilakukan Mbak Vivi dan Mas Kevin padaku.
"Ngapain mereka ke sini?" Mas Han bertanya ketika dirinya baru saja menyuapkan satu sendok ke mulutnya.
Aku menghabiskan satu suap, lalu melirik air cup di atas meja. Laki-laki itu sigap membantuku mengambilkan serta memasukkan pipet ke dalamnya.
Mas Han mengedutkan dahi sambil memandang dengan lekat.
“Mereka memintaku membujuk Ibu agar tetap menjual tanahnya untuk acara Galuh,” ucapku dengan suara masih serak.
"Jual tanah?"
"Iya. 600 ratus juta bukan uang yang sedikit."
"Ya. Itu banyak banget."
"Sekalipun uang 150 juta dari kamu digabungin sama uang Mas Kevin, Mas Darwin, juga dari Om Irwan. Itu masih kurang."
“Kenapa gak adain acara sesuai kemampuan aja?”
Sebelumnya, saya sudah berpikir sebagaimana yang Mas Han tanyakan. Aku juga sempat berniat mengusulkan pada Ibu, tapi mengingat ucapanku di depan Ibu tidak begitu didengarkan, aku memilih bungkam.
“Itu semua hanya akal-akalan Mbak Vivi sama Mas Kevin saja,” ucapku.
“Maksudnya?” Mas Han kembali mengerutkan keningnya.
"Acara Galuh diserahin semuanya sama Mbak Vivi dan Mas Kevin. Ibu cuma nyiapin bajetnya. Tapi, mereka malah ngambil kesempatan," balasku.
Mas Han mengangguk-anggukkan kepala.
"Dari mana kamu tau?"
"Gak sengaja denger mereka bicara waktu itu."
"Tapi, apa mungkin hanya mereka berdua yang terlibat?"
"Maksudnya?"
“Mbak Rara kakakmu yang tertua, nggak mungkin Mbak Rara diam aja kan?”
Aku menelan ludah. Aku baru sadar. Yang aku tahu, semua konsep dan proses persiapan acara Galuh diserahkan kepada Mbak Vivi dan Mas Kevin. Dengan biaya sebesar itu, apa Mbak Rara tidak curiga?
Bisa jadi Mbak Vivi telah mengelabuhi dan meyakinkan Mbak Rara sehingga dia tidak curiga. Atau jangan-jangan ... mereka bersekongkol?
"Ya udah. Lanjutin makannya," ucap Mas Han.
Aku mengangguk kaku, lalu melahap makanan yang terhidang.
***
[Kamu beneran gak datang nemuin Ibu, ya?]
Sebuah pesan masuk dari Mbak Vivi. Aku memilih mengabaikannya. Aku tidak peduli dengan apa yang dia akan lakukan padaku.
Aku memang sama sekali tidak berniat mengunjungi Ibu, apalagi memintanya percaya pada Mbak Vivi. Ucapanku tidak akan diindahkan oleh Ibu.
Aku tidak membalas pesan dari Mbak Vivi.
Seminggu lagi, acara Galuh akan digelar di hotel bintang lima. Aku akan melihat semegah apa acara itu akan berlangsung.
Sebelum menyimpan ponsel, aku melihat-lihat story kontak WhatsApp. Mbak Vivi dan Mbak Rara, mereka tampak meng-upload story yang sama. Dua story dengan pakaian berbeda, model terbaru yang terlihat elegan.
Hatiku terasa nyeri. Apalagi, setelah membaca caption.
"Alhamdulillah, udah siapin budjet tujuh juta buat couple keluarga. Semoga sesuai harapan."
Demikin caption yang tertulis di sana.
Couple keluarga?
Aku tertawa kecil. Sama seperti sebelumnya, mereka bahkan tidak mengajakku patungan untuk seragam keluarga tersebut. Setidaknya, mengajakku walau sekadar basa-basi. Kini terang sudah, jika aku memang tidak dianggap.
Detik setelahnya, hatiku kian sakit saat Ibu membuat story yang sama.
Untuk meredam gejolak di dada, aku meletakkan ponseku di atas lemari kecil di kamar. Lalu, melangkah ke dapur untuk mencuci piring.
Hari sudah hampir gelap, tetapi Mas Han belum juga pulang. Jarang sekali dia pulang sampai Magrib. Hanya sesekali, itu pun dia akan memberi kabar melalui telepon.
Selesai mencuci piring, aku menutup semua pintu, sampai akhirnya senyumku tersungging begitu melihat Mas Han datang dengan sepeda motor bututnya.
Kresek hitam dengan pucuk sayur hijau dibawanya. Dia tersenyum.
"Tadi ada urusan, jadi telat," katanya ketika berada di dekatku.
Namun, ada yang aneh dengan Mas Han. Wajah itu tampak segar, tidak seperti hari-hari sebelumnya yang terlihat lelah setelah bekerja.
Saat dia melintas melewatiku, samar tercium aroma parfum. Padahal, setahuku Mas Han tidak pernah menggunakan parfum apa pun selain parfum untuk beribadah, dan aku hafal aromanya.
"Mas, tunggu."
Mas Han sudah berjarak beberapa langkah dariku, menjeda dan menoleh.
"Kamu pakai parfum?"
Mendengar pertanyaanku, Mas Han lalu menghidu aroma pakaiannya.
"Oh, mungkin parfum punya teman nyangkut di baju aku," balasnya.
Aku tidak sepenuhnya puas dengan jawban itu, tapi bisa saja apa yang dikatakan Mas Han benar adanya. Apalagi baunya hanya tercium samar. Namun, ada yang mengusik pikiran begitu aku teringat foto itu dan nama Liliana.
Apakah mungkin Mas Han bertemu wanita itu?
***
"Nad, bantu Mbok Sum nyuci piring sana!"
Aku yang tengah bersantai di sofa dengan Mas Han, dikejutkan oleh suara Mbak Rara.
Mbak Rara tampak melotot. Dia sedang memegang piring kecil berisi bolu.
"Malah enak-enakan nyantai. Kayak orang kaya aja!"
"Kenapa bukan Mbak aja yang bantu?"
"Elah, kamu ini dibilangin sama yang lebih tua bukannya nurut malah ngejawab!"
"Yang lebih tua harusnya ngasih contoh, Mbak," balasku.
"Eh, kamu itu siapa pake ngajarin aku?" Perempuan itu mendekat dengan mata mendelik.
Aku menegakkan tubuh. Sementara, Mas Han masih menikmati keripik singkong yang sebelumnya diberikan Mbok Sumi. Ya, Ibu sekarang sudah punya pembantu di rumah ini.
Besok adalah acaranya Galuh. Jadi, semua keluarga hari ini berkumpul. Tadi pagi, Ibu menelepon agar aku ke sini bersama Mas Han.
Sejujurnya, aku enggan datang, tapi Mas Han berkata kami harus hadir.
"Harusnya kan gitu, Mbak?"
"Dasar kurang ajar kamu, ya!"
"Ada apa ini?" Mas Darwin, suaminya Mbak Rara datang.
"Ini loh, Mas. Punya adek kurang ajar banget!"
"Si Nadia itu memang perlu dikasih pelajaran!" Tiba-tiba Mbak Vivi yang baru datang, menimpali.
Mas Han bangkit sebelum aku menjawab mereka. Pria itu berdiri tepat di hadapanku dan menghadap mereka.
"Eh, tukang sayur, ngapain kamu berdiri di situ?"
Bukannya melawan mereka, Mas Han malah mengeluarkan kalimat yang membuatku semakin dongkol.
"Saya mau ke dapur, Mbak. Mau bantu Mbok Sum," ucap Mas Han. Sontak saja aku terbelalak. "Ayo," ajaknya padaku.
Aku melotok kepada Mas Han.
"Sudah, jangan ladeni mereka," bisiknya.
"Aku kesel banget, Mas!"
Mas Han tersenyum dan meraih tanganku, sebelum akhirnya membawaku ke dapur.
***
Acaranya Galuh tengah ramai-ramainya. Alunan musik menggema, semakin membuat acara kian meriah. Para tamu berdatangan.
Aku memandangi kakak-kakakku yang tengah bergerombol dengan keluarga istrinya Galuh. Mereka berseragam semua, kompak.
Pukul enam petang ketika aku melihat jam digital di layar ponsel. Sepertinya, setelah ini aku akan mengajak Mas Han pulang. Kali ini, aku tidak peduli jika Mas Han memintaku untuk tiggal lebih lama.
Hingga kemudian, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakangku.
"Hei, kamu, ayo gabung," ucap mamanya Intan, mertua Galuh.
Aku tersenyum ramah padanya. Tapi, tidak pada wanita di sampingnya. Ibu tampak tidak suka denganku.
"Lagi nunggu suami saya, Tante," balasku. Aku mengedarkan pandangan ke belakang. Mas Han, apa dia belum selesai salat?
"Tunggu di sana aja. Kita have fun sama-sama," ucapnya.
Aku tidak tahu harus mengeluarkan alasan apa lagi. Mau tidak mau mengiktui Ibu dan besannya bergabung dengan mereka. Sampai akhirnya, hal yang kutakutkan pun terjadi.
"Eh, istri si tukang sayur," ucap Mbak Vivi yang disambut gelak tawa sebagian besar dari mereka. Aku mendelik ke arah Mbak Vivi yang tega-teganya menghinaku di tempat umum.
"Oh, suaminya jualan sayur?" Mertua Galuh bertanya.
"Iya, Tante." Aku tersenyum getir.
"Bagus lah. Makan sayur tiap hari malah bagus buat kesehatan," ucapnya.
Aku menyampaikan ucapan mertua Galuh dengan senyuman.
"Gimana kalau kita foto bareng?" usul mertua Galuh.
"Setuju! Tapi, yang gak pake seragam gak boleh gabung. Dia cocoknya foto sama Mbok Sum!"
Suara Mbak Vivi kembali menggema dan disambut oleh gelak tawa. Hatiku benar-benar sakit. Entah apa yang ada di pikiran mereka.
Saat mereka sudah mengatur posisi, saya mengayun langkah untuk pergi. Namun, tiba-tiba musik berhenti dan menimbulkan dengung yang menusuk pendengaran.
Semua orang membekap telinga, sebelum akhirnya musik tadi berganti dengan percakapan yang membuat semua orang menyukainya.
"Hahaha. Tenang aja Ibu gak akan curiga kalau kita jadiin acara Galuh sebagai proyek."
"Betul. Kapan lagi dapat untung ratusan juta dengan proyek kecil?"
Di kbm udah tamat ya
Judul: Silakan Hina Suamiku
(***)