Betapa Beraninya Istri Jenderal AH Nasution Hadapi Cakrabirawa saat Malam Peristiwa G30S/PKI.

Malam itu, 30 September 1965, rumah Jenderal Besar AH Nasution di Jalan Teuku Umar, Jakarta, diselimuti suasana tenang. Sang istri, Johanna Sunarti, baru saja terbangun bersama Nasution karena gangguan nyamuk. Di sisi mereka, tertidur pulas putri bungsu yang manis, Ade Irma Suryani Nasution.
Namun ketenangan itu pecah seketika ketika suara dentuman keras menggema. Pasukan Cakrabirawa mendobrak masuk, bersenjata lengkap, wajah dingin, mata tajam. Johanna yang mengintip dari pintu kamar, mendapati kenyataan mengerikan: para tentara itu datang bukan untuk sekadar bertamu, mereka datang untuk menghabisi suami.
Dengan suara bergetar, Johanna memperingatkan:
"Itu yang ingin membunuhmu sudah datang, jangan keluar… tutup pintu!"
Namun pelurunya sudah lebih cepat. Menembus pintu kamar, peluru itu nyaris merenggut nyawanya. Ade Irma kecil, yang tidak berdosa, justru menjadi korban. Tubuh mungilnya terkena timah panas. Tangisan anak itu menggema, merobek hati Johanna.
Di tengah darah dan ketakutan, Johanna tetap tegar. Ia menggendong Ade Irma yang bernafas, menenangkan putri sulungnya, Hendriyanti Sahara (Yanti) Nasution, yang menangis ketakutan. Dengan kondisi seorang istri dan ibu, Johanna mengambil keputusan tercepat dan terberat: ia mendesak suaminya untuk melarikan diri.
Dengan keberanian luar biasa, ia membantu AH Nasution melompati tembok Kedutaan Irak yang bersebelahan dengan rumah mereka, menyelamatkannya dari maut. Johanna tetap tinggal, menjaga anak-anaknya, meski nyawa mereka dalam ancaman.
Peristiwa itu merenggut Ade Irma, sang putri bungsu, namun sekaligus membuktikan kegigihan Johanna Sunarti. Ia bukan sekadar istri seorang jenderal, ia adalah simbol keberanian seorang perempuan Indonesia yang mampu berdiri tegak dalam badai paling kelam demi melindungi keluarga dan bangsa.
(***)