Pierre Tendean: Wajahnya yang rupawan tak menjadikan sosok yang gemar bergonta ganti pasangan
                                            Tahun 1965 tercatat sebagai salah satu lembaran paling kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Malam mencekam Gerakan 30 September (G30S/PKI) merenggut nyawa enam perwira tinggi TNI, dan satu nama lain yang tak boleh dilupakan: Kapten Pierre Andries Tendean. Sosok muda tampan berusia 26 tahun ini tidak hanya dikenang sebagai ajudan Jenderal AH Nasution, tetapi juga sebagai pahlawan revolusi yang menyumbangkan termasuk seluruh cintanya demi tanah air.
Lahir dari ayah berdarah Minahasa dan ibu keturunan Prancis, Pierre tumbuh dengan semangat militer yang membara sejak kecil. Ia menempuh pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) Bandung, lalu melanjutkan ke sekolah intelijen di Bogor, hingga akhirnya dikenal sebagai agen rahasia handal yang terjun dalam konfrontasi Dwikora melawan Malaysia. Prestasi dan keberaniannya membuat ia menjadi rebutan para jenderal besar, hingga akhirnya dipilih langsung oleh Jenderal AH Nasution sebagai ajudan pribadi.
Di balik seragamnya yang gagah, Pierre adalah sosok sederhana, ramah, dan begitu hangat terhadap keluarga besar Nasution. Ia dekat dengan putri-putri sang jenderal, Ade Irma dan Hendrianti Sahara, bahkan sering menghabiskan waktu bersama mereka. Namun, sisi lain yang jarang diketahui adalah kisah cintanya yang tulus kepada seorang bernama Rukmini, wanita yang ditemuinya ketika bertugas di Medan.
Meski wajahnya tampannya digilai banyak perempuan, Pierre bukanlah seorang yang suka bergonta-ganti pasangan. Hatinya hanya terpaut pada Rukmini. Hubungan mereka dijalani dengan penuh kesetiaan, meski harus memisahkan jarak dan diuji oleh bahaya tugas intelijen. Puncak keseriusan itu terwujud ketika Pierre melamar sang pujaan hati pada tanggal 31 Juli 1965. Rencana pernikahan telah ditetapkan untuk bulan November di tahun yang sama. Namun, takdir berkata lain.
Malam 30 September 1965, pasukan penembak datang ke rumah Jenderal Nasution. Pierre dengan gagah berani berdiri menghadang demi melindungi atasannya. Ia ditangkap, dibawa ke Lubang Buaya, lalu dibunuh dengan cara keji. Semua mimpi indahnya bersama Rukmini terkubur bersama jasadnya yang tak pernah kembali dengan selamat.
Kini, nama Pierre Tendean terukir abadi dalam sejarah bangsa. Ia bukan hanya pahlawan revolusi, melainkan simbol pengorbanan cinta dan kehidupan yang direnggut terlalu cepat. Sosoknya menjadi bukti nyata bahwa keberanian sejati tidak hanya lahir di medan perang, tetapi juga dari ketulusan hati yang rela melepaskan segalanya demi bangsa dan cinta.
Sumber : IDNTIMES.com
(***)