Kisah Dua Bersaudara yang Berlawanan karena perbedaan Ideologi
Di sebuah rumah sederhana di Wonosobo, dua bersaudara pernah tumbuh bersama. Siswondo Parman, yang kelak dikenal sebagai intelijen intelijen Angkatan Darat, dan Sakirman, yang kelak menduduki kursi penting di Politbiro PKI. Masa kecil mereka tidak jauh berbeda dari anak-anak desa lain: bermain di sawah, belajar di sekolah desa, mendengar dongeng ibu tentang perjuangan rakyat.
Namun jalan hidup membawa mereka ke arah yang sangat berbeda.
S. Parman menempuh jalur militer. Pendidikan kedokteran yang sempat dijalaninya berubah arah ketika Jepang masuk, dan akhirnya ia mengabdikan diri pada kecerdasan Angkatan Darat. Kecerdasannya menjadikannya salah satu perwira yang paling disegani. Ia tahu benar-benar ancaman komunisme, karena setiap laporan yang masuk ke mejanya menggambarkan rencana, infiltrasi, dan propaganda PKI. Dalam pemahamannya, “PKI ingin menggantikan dasar negara ini dengan ideologi yang tidak sesuai dengan jiwa bangsa.”
Sakirman, kakaknya, justru memilih jalan revolusi rakyat ala Marxisme. Ia percaya komunisme adalah satu-satunya jalan untuk memerdekakan kaum tani dan buruh dari belenggu feodalisme. Di Jakarta, ia naik menjadi anggota Politbiro PKI, duduk sejajar dengan tokoh-tokoh besar seperti Aidit dan Njoto.
Keduanya sama-sama ingin Indonesia merdeka dan adil, namun dengan cara dan ideologi yang bertolak belakang.
Bayangkan ketegangan yang mungkin pernah terjadi ketika mereka duduk di satu meja makan keluarga. Sang adik, S. Parman, bersuara tenang namun tajam:
"Bang, jalan yang kau pilih berbahaya. PKI itu bukan solusi, mereka hanya akan membawa bangsa ini ke jurang."
Sakirman menatap balik dengan api dalam mata:
"Astaga, kau terlalu percaya pada jenderal-jenderal itu. Mereka hanya menjaga kepentingan segelintir elit. Rakyat butuh revolusi. Dan revolusi tak bisa menunggu."
Perdebatan mungkin berakhir dengan keheningan, namun jarak di antara keduanya semakin lebar.
Tahun 1965 menjadi titik tragis. S. Parman, sebagai intelijen, adalah salah satu yang paling keras melawan gerakan PKI. Karena itu masuk namanya daftar hitam dalam operasi G30S. Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, pasukan mencurigakan mendatangi rumahnya. Ia ditodong, digelandang, lalu hilang menuju Lubang Buaya. Tubuhnya ditemukan tiga hari kemudian bersama jenderal lain, penuh luka, dimasukkan ke dalam sumur tua.
Sementara itu, Sakirman masih berada dalam lingkaran elit PKI yang segera diburu setelah peristiwa gagal kudeta tersebut. Nasibnya juga berakhir kelam — ia ditangkap dan dieksekusi pada tahun-tahun penuh gejolak itu.
Dua saudara, dua jalan, dua ideologi, sama-sama berakhir dalam kematian tragis. Kisah mereka mencerminkan luka sejarah bangsa: bahwa perpecahan ideologi tidak hanya mengoyak negara, tapi juga keluarga sendiri.
--
#tragedi #g30s_pki #pahlawanrevolusi #fyp