Kisah Pilu Pierre Tendean, Sang Ajudan Setia



Malam itu, Jakarta begitu lengang. Dini hari 1 Oktober 1965, jarum jam baru saja melewati pukul 4.00 ketika suara derap sepatu dan teriakan kejam memecah keheningan di rumah Jenderal AH Nasution di Jalan Teuku Umar.

Para prajurit bersenjata mendobrak pintu, menembakkan peluru, dan memecah kaca jendela. Sang Jenderal segera terbangun. Dengan cepat, ia berusaha meloloskan diri lewat pintu belakang. Tembakan menghantam kakinya, namun ia terus berlari, melompati pagar, hingga akhirnya berhasil bersembunyi di rumah tetangga.

Di dalam rumah, ajudannya yang setia, Lettu Pierre Andries Tendean, bangkit dari kasur. Usianya masih sangat muda, baru 26 tahun. Ia tahu benar bahaya yang sedang terjadi: para prajurit itu datang bukan untuk sekadar menangkap, melainkan menculik dan mungkin membunuh.

Namun, tak ada rasa gentar di wajah Pierre. Ketika para pendatang datang dan menyeretnya, mereka mengira Pierre adalah sang jenderal. Tubuh jangkungnya, wajah tegasnya, dan seragam yang ia kenakan menambah keyakinan mereka.

Pierre tidak membantah. Ia tidak berteriak bahwa dirinya hanya ajudan. Ia membiarkan mereka mengikat tangannya, membawa pergi bersama enam perwira tinggi lainnya. Dalam hatinya, ia tahu: lebih baik dirinya menjadi korban, daripada sang jenderal yang ia lindungi.

Perjalanan panjangnya berakhir di Lubang Buaya, markas para penipu. Di sanalah ia dan para jenderal lain disiksa dengan kejam. Namun, meski rasa sakit tak terperi, Pierre tetap diam, tegak dalam penderitaan.

Menjelang subuh, suara letusan senjata terdengar. Satu per satu nyawa para petugas itu direnggut. Tubuh mereka kemudian dimasukkan begitu saja ke dalam sebuah sumur tua yang gelap dan sempit.

Beberapa hari kemudian, pada tanggal 4 Oktober 1965, sumur itu dibongkar. Dari kedalaman tanah berlumpur, jasad para pahlawan itu diangkat. Di antara mereka, ada tubuh muda Pierre Tendean — ajudan yang memilih diam, memilih berkorban, agar komandannya selamat.


Warisan Abadi

Pierre Tendean gugur di usia yang begitu percaya diri, namun keberaniannya menjadikannya abadi. Ia bukan hanya seorang ajudan, bukan hanya seorang perwira muda, melainkan simbol kesetiaan seorang prajurit yang rela menyerahkan segalanya demi tugas dan kehormatan.

--

#sejarah #pahlawanrevolusi #pierretendean #fyp