IBRAHIM ADJIE : Letnan Jenderal Yang Berani Melawan Arus Sejarah



Indonesia: tahun 1965. Politik memanas, kegelisahan rakyat, dan setiap keputusan bisa memicu ledakan kekerasan. Di tengah pusaran itu berdiri seorang perwira: Ibrahim Adjie, Pangdam Siliwangi. Tanpa ragu, ia mengambil langkah tak semua orang berani: membubarkan PKI di Jawa Barat.


Keputusannya memicu kemarahan Presiden Soekarno. Panggilan ke Istana Bogor adalah konsekuensi yang harus ia hadapi. Tapi bagi Adjie, ini bukan tentang melawan presiden. Ini tentang melindungi rakyat dari kekacauan yang bisa merenggut nyawa mereka. Langkahnya yang kontroversial, penuh risiko, dan berani. Suatu tindakan yang menyatakan siapa ia sebenarnya.


Karier militernya tak berhenti di situ. Meski sempat ditugaskan sebagai duta besar ke Inggris akibat mengecewakan Soekarno, Adjie terus naik pangkat hingga menjadi Letnan Jenderal. Namanya pun abadi, bukan hanya di sejarah militer, tapi juga di jalan-jalan Bandung yang mengabadikan namanya.


Dan kisah keberaniannya tak berhenti pada urusan politik. Tahun 1989, setelah pensiun, ia menghadapi sekelompok bersenjatakan senjata. Dalam momen genting itu, Adjie menembak salah satu pelaku untuk membela diri. Ia terbebas dari tuntutan hukum, namun kejadian itu menegaskan satu hal: sosok yang teguh, berani, dan tak gentar menghadapi ancaman nyata.


Ibrahim Adjie bukan sekadar pemberontakan atau kontroversi. Ia adalah simbol keberanian dalam mengambil keputusan yang sulit, melindungi yang lemah, dan berdiri teguh pada prinsip. Sejarah mencatatnya sebagai tokoh yang kontroversial, namun tak pernah bisa diabaikan. Karena terkadang, untuk melindungi rakyat, seorang pemimpin harus berani melawan arus.


Setiap keputusan, setiap tindakan, membentuk legenda. Dan Ibrahim Adjie adalah legenda itu, seorang Letnan Jenderal yang berani, tegas, dan abadi dalam mengingat sejarah Indonesia.


(***)