Kisah Gubernur Ali Sadikin yang Dicalonkan Jadi Presiden, Pernah 'Dimusuhi' Soeharto.
Ali Sadikin nama yang tak lekang oleh waktu dalam sejarah Jakarta. Sosok yang keras, jujur, dan berani ini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dari 28 April 1966 hingga 11 Juli 1977, masa kepemimpinan yang menorehkan tinta emas sekaligus kontroversi dalam perjalanan Ibu Kota.
Pemimpin Keras yang Dicintai Rakyat
Lahir di Sumedang pada tanggal 7 Juli 1927, Ali Sadikin atau yang akrab disapa Bang Ali, dikenal sebagai pemimpin yang melindungi rakyat kecil. Ia berani menindak kejahatan dan tidak segan menertibkan oknum militer yang bertindak semena-mena terhadap warga negara.
Namun di balik ketegasannya, Bang Ali juga dikenal hangat. Ia ingin Jakarta bukan hanya kota yang tertib, tapi juga hidup dan bahagia. Maka lahirlah gagasan-gagasan besar seperti Pekan Raya Jakarta (PRJ), yang menjadi ajang hiburan rakyat dan simbol kemajuan kota.
Gubernur dengan Keberanian Kontroversial
Bang Ali bukan tipe pejabat yang mencari aman. Ia mengambil keputusan-keputusan berani demi membangun Jakarta. Salah satunya adalah melegalkan perjudian dan prostitusi, langkah yang dianggap tabu namun saat itu justru menjadi sumber pendapatan daerah. Dana tersebut kemudian digunakan untuk proyek-proyek besar yang membentuk wajah Jakarta modern:
Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat seni dan budaya,
Kebun Binatang Ragunan,
Proyek Senen,
Taman Impian Jaya Ancol, hingga
Taman Ria Monas.
Langkah-langkahnya ini menjadikan Jakarta lebih manusiawi dan berwarna, namun sekaligus menimbulkan ketidaksenangan di istana.
Ketegangan dengan Soeharto
Di balik semua prestasi gemilangnya, hubungan Ali Sadikin dengan Presiden Soeharto tak selalu harmonis. Ia dikenal sering membantah dan mengkritik kebijakan presiden. Bahkan menurut Djohan Effendi, penulis pidato Soeharto, Bang Ali beberapa kali berani menentang pandangan pemerintah secara terbuka. Dalam wawancara dengan koran Malaysia Dewan Masyarakat tahun 1981, Bang Ali berkata lantang,
> “Saya sampai dua tiga kali mengkritik Soeharto. Ini bukan soal prestasi, tapi soal keyakinan.”
Ketegangan itu semakin nyata ketika masa jabatannya dipersingkat satu bulan, diduga karena Soeharto merasa terganggu oleh popularitas dan sikap keras kepala Bang Ali.
Dicalonkan Jadi Presiden oleh Mahasiswa
Keteguhan dan kejujuran Bang Ali membuatnya dikagumi banyak kalangan, terutama pelajar. Mereka memandang sosok yang tegas namun tulus terhadap rakyat.
Dua tokoh mahasiswa Universitas Indonesia Dipo Alam dan Bambang Sulistomo (putra Bung Tomo) bahkan menggembar-gemborkan Ali Sadikin sebagai calon presiden pengganti Soeharto.
Tindakan ini memicu kemarahan rezim Orde Baru. Siswa kedua itu pun ditangkap dan ditahan selama dua bulan.
Bang Ali menanggapinya dengan bijak,
> “Itu hak mereka berbicara sebagai warga negara sesuai pendapatnya sendiri,” katanya dalam surat kabar Simponi tahun 1993.
Dicintai Rakyat, Tapi Dikucilkan Negara
Setelah masa jabatannya berakhir, Bang Ali tidak menikmati masa pensiun yang tenang. Ia dicekal dan dikucilkan selama 13 tahun, tidak diizinkan melakukan perjalanan ke luar negeri bahkan untuk naik haji pun dilarang.
Ironisnya lagi, dia tidak boleh menghadiri acara yang merupakan karyanya sendiri, Pekan Raya Jakarta.
“Tidak hanya itu, saya pun dilarang naik haji,” katanya dengan getir dalam wawancara Majalah Sentana tahun 1994.
Bang Ali akhirnya digantikan oleh Letjen Tjokropranolo, mantan sekretaris pribadi Soeharto, pada tahun 1977. Namun nama dan jasa-jasanya tetap hidup di hati rakyat. Ia adalah simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang-wenang pemimpin yang mencintai rakyatnya lebih dari kenyamanan politik.
(***)