Kartika, Anak Angkat Bung Karno dari Ende
Tahun 1934, kota kecil Ende di Pulau Flores menjadi saksi bisu mengidentifikasi seorang tokoh besar yang kelak menggemparkan dunia Ir. Sukarno, sang pemimpin revolusi bangsa Indonesia. Bagi Bung Karno, yang biasa hidup di tengah hiruk-pikuk perjuangan politik dan diskusi ideologi, kota ini terasa terlalu sunyi. Tidak ada yang terjadi, tidak ada orasi, bahkan tidak ada orang yang ia kenal.
Ia datang ke Ende ditemani oleh Inggit Garnasih, istri setianya, sang anak angkat Ratna Djoeami (Omi), serta ibu mertua tercinta, Ibu Amsi, yang menjadi sumber kekuatan di tengah keterasingan. Dua pelayan setia dari Banjaran ikut mendampingi mereka dalam masa pembuangan itu.
Hari-hari terasa panjang dan sepi. Hanya debur ombak dan kesibukan pelabuhan kopra yang menemani. Di tengah keterasingan itu, Bung Karno mencoba mencari makna. Hingga suatu hari, di tepi pantai, ia melompat dengan seorang nelayan bernama Kota Dia, seorang agen polisi yang diam-diam bersimpati pada perjuangannya. Pertemuan itu menjadi awal dari pergerakan kecil di Ende.
Melalui bantuan Kota Dia, Bung Karno membentuk kelompok teater bernama Toneel Club Kelimutu. Di balik kisah sandiwara yang mereka pentaskan, tersembunyi pesan-pesan perjuangan dan persahabatan. Dari situ Bung Karno mulai menyemai benih kesadaran politik di kalangan rakyat kecil. Ende yang sepi, kini bergema oleh api semangat dari kata-katanya.
Selain itu, tiap malam Jumat, Bung Karno menggelar diskusi keagamaan Islam bersama tokoh-tokoh setempat. Salah satunya adalah Atmosoedirdjo, seorang Mantri Jalan asal Banyumas. Atmosoedirdjo kerap membawa putri yang masih kecil, Poppy, berusia enam tahun gadis mungil yang kemudian begitu disayangi oleh keluarga Bung Karno.
Suatu malam, ketika diskusi berlangsung hingga larut, Poppy tertidur di pangkuan ayahnya. Inggit dengan lembut membawanya ke kamar untuk tidur bersama Omi. Sejak malam itu, Ratna Djoeami memiliki teman baru, dan Bung Karno memberi nama baru bagi anak kecil itu: Kartika artinya bintang. Dari Ende hingga Bengkulu, Kartika tumbuh sebagai bagian dari keluarga kecil Bung Karno.
Ketika Bung Karno kemudian dipindahkan ke Bengkulu, Kartika ikut serta bersama Inggit dan Riwu Ga, pelayan setia mereka. Ia menyaksikan sendiri bagaimana Bung Karno terus menulis, berdiskusi, dan menanamkan semangat kemerdekaan di mana pun ia berada.
Namun masanya tidak berhenti di sana. Setelah Jepang mulai mendarat di wilayah Hindia Belanda, Belanda berencana memindahkan Bung Karno ke Australia agar tidak “dimanfaatkan” oleh pihak Jepang. Tetapi Bung Karno sudah mempunyai peringatan: Jepang akan menang melawan Belanda, dan dari situ Indonesia akan mendapat peluang untuk merdeka.
> “Kita harus keluar dari sini,” kata Bung Karno suatu hari. “Karena kita akan memerdekakan Indonesia.”
Perjalanan penuh bahaya pun dimulai. Hari ini, mereka dibangunkan oleh inspektur Belanda dan diminta naik mobil. Hanya ada Bung Karno, Inggit, Kartika yang baru 14 tahun, Riwu Ga, empat polisi Jawa, dan dua ekor anjing kesayangan Bung Karno. Dalam perjalanan menuju Muko-Muko, pesawat Jepang mulai hilir-mudik di atas mereka. Ketegangan meliputi udara, hujan mengguyur tanpa ampun, dan tanah menjadi becek.
Riwu Ga mengenangnya, ia berusaha mengepak buku-buku kesayangan Bung Karno, namun tak semua bisa dibawa. Saat jalan terputus, mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki selama empat hari penuh, menembus hutan, lumpur, dan ancaman binatang buas.
Suatu kali Bung Karno berhenti karena merasa buruk. Ia menunaikan shalat terlebih dahulu. Ternyata benar setelah itu mereka menemukan jejak harimau di jalan yang seharusnya mereka lalui.
> “Kalau kami teruskan, mungkin kami sudah jadi santapan harimau,” kenang Ibu Kartika kemudian.
Akhirnya rombongan tiba di Padang, dan menginap di rumah dr. Waworuntu, seorang dokter asal Manado. Di sini Bung Karno mengadakan perjanjian politik dengan militer Jepang:
> “Kami akan membantu Nippon, tapi Nippon harus membantu kami menjadi merdeka.”
Peristiwa paling menyayat hati datang ketika Bung Karno harus berpisah dengan Inggit. Kartika yang kala itu telah beranjak dewasa masih mengingat jelas malam itu.
> “Saya dibangunkan dan ditanya, mau ikut siapa?” kata Kartika.
“Saya menjawab, ikut Ibu, maksud saya Ibu Inggit.”
Itulah malam perpisahan yang abadi. Bung Karno menyerahkan Inggit dan Kartika kembali kepada Bapak Sanoesi, suami pertama Inggit, sebelum beliau bertemu Bung Karno.
Kini, Ibu Kartika Uteh, gadis kecil yang dahulu menemani Bung Karno dalam masa-masa pembuangan, telah berusia 90 tahun. Namun kenangannya tentang pemimpin besar yang penuh kasih dan semangat juang itu masih melekat jelas tentang kesunyian di Ende, langkah berat di Bengkulu, hingga percikan api kemerdekaan yang mulai menyala di hati rakyat.
Sumber : koransulindo.com