LONDO IRENG: SAUDARA YANG BERBALIK MENJADI MUSUH

???????? 


---


Saat Saudara Menembak Saudara


Aceh, tahun 1898. Di antara kabut dan bau mesiu, pasukan rakyat Aceh bersembunyi di semak-semak. Mereka menunggu aba-aba serangan ke pos Belanda di Lhoksukon.


Tapi malam itu, langkah-langkah sepatu terdengar dari arah berlawanan.bKetika wajah mereka tampak di cahaya obor, bukan kulit putih yang muncul. Wajah-wajah itu hitam manis, ikal berambut, bertubuh sama seperti rakyat di kampung sebelah.


Namun mereka datang dengan senapan, bukan rencong. Mereka datang atas nama Ratu Belanda, bukan atas nama tanah air.


Malam itu, saudara menembak saudara, dan darah Nusantara kembali tumpah ke tanah sendiri. Merekalah yang disebut LONDO IRENG pribumi berseragam kolonial yang menjadi alat kekuasaan Belanda.


---


Asal Usul Nama dan Awal Keberadaan


Kata Londo Ireng berasal dari bahasa Jawa yaitu Londo berarti Belanda, Ireng berarti hitam. Istilah ini pertama kali digunakan untuk menyebut “Zwarte Hollanders”, serdadu kulit hitam dari Afrika Barat (kini Ghana) yang didatangkan Belanda sejak tahun 1830-an untuk memperkuat pasukan kolonial di Hindia Belanda.


Namun seiring berjalannya waktu, istilah ini bergeser maknanya. Ketika tentara-tentara pribumi mulai direkrut besar-besaran, masyarakat Jawa mulai menyebut mereka juga sebagai Londo Ireng bukan karena warna kulit, tapi karena jiwa mereka sudah menjadi seperti Belanda, meskipun tubuhnya pribumi.


---


Kebijakan Kolonial: Penciptaan Tentara Pribumi


Setelah Perang Diponegoro (1825–1830), Belanda belajar satu hal penting, mereka tidak mungkin menguasai bahasa Hindia hanya dengan orang Eropa.


Maka dibentuklah KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger), tentara kerajaan Hindia Belanda, yang sebagian besar anggotanya adalah pribumi. Belanda hanya menjadi perwira, komandan, dan pengatur strategi.


Tugas kejam dari patroli di hutan, penyerangan kampung, hingga eksekusi pejuang dilakukan oleh orang Nusantara sendiri. Inilah strategi kolonial yang paling licik: menaklukkan bangsa dengan tangan bangsanya sendiri.


---


Anak Negeri di Balik Senapan Kolonial


Pada masa puncaknya, sekitar tahun 1900-an, data resmi KNIL menunjukkan:


39% tentara berasal dari Jawa,

15% dari Manado,

12% dari Ambon,

sisanya dari Bugis, Bali, Timor, dan Minahasa.


Jumlah serdadu pribumi mencapai lebih dari 80% total pasukan Belanda. Tanpa mereka, kekuasaan kolonial tidak akan bertahan lama di kepulauan yang luas ini.


Namun bagi rakyat di medan perang, wajah dan warna kulit para penindas kini tidak lagi asing. Musuh tak lagi datang dari negeri jauh tapi dari kampung sebelah.


---


Perang Aceh: Tragedi Saudara Sebangsa


Perang Aceh (1873–1914) menjadi salah satu episode paling berdarah. Belanda menurunkan ribuan pasukan Marsose, satuan pemburu elit gerilyawan Aceh. Sebagian besar anggota pasukan ini justru pribumi yang direkrut dari Jawa, Ambon, dan Manado.


Tugas mereka adalah menumpas, membakar, menghancurkan perlawanan rakyat Aceh.


Catatan kolonial menunjukkan ribuan rakyat dibantai di daerah seperti Kutaraja, Sigli, dan Pidie. Perempuan dan anak-anak ikut menjadi korban.


Foto yang diambil tahun 1897 di Sigli menampilkan sekelompok pasukan Marsose di atas mayat rakyat Aceh. Sebagian besar dari mereka tampak lokal, tapi berseragam kolonial tersenyum beku di bawah topi baja Belanda.


Sebuah potret tentang betapa jauhnya bangsa ini pernah terpecah oleh sistem penjajahan.


---


Mengapa Mereka Bergabung?


Alasan mereka beragam, tapi menyakitkan untuk didengar.


1. Kemiskinan dan kelaparan.

Setelah sistem tanam paksa (cultuurstelsel) diberlakukan, banyak rakyat kehilangan tanah. Bergabung dengan KNIL menjadi satu-satunya cara untuk makan dan hidup.


2. Janji upah dan fasilitas.

Gaji KNIL bisa 8–10 kali lipat dari petani biasa.

Diberi rumah barak, seragam, bahkan sabun dan rokok barang mewah kala itu.


3. Paksaan dan ancaman.

Banyak pula yang direkrut secara paksa, atau diancam hukuman bila menolak.


Namun berapa pun insentifnya, kenyataannya tetap satu, mereka menembak bangsanya sendiri. Dan di titik itulah, mereka bukan lagi korban, mereka telah menjadi bagian dari sistem penjajahan.


---


Kesetiaan yang Salah Tempat


Pada tahun 1927, ketika Jenderal JB van Heutsz, “penakluk Aceh”, meninggal dunia, upacara penghormatan militer di Batavia dihadiri belasan perwira pribumi KNIL.


Mereka berdiri tegak, memberi hormat pada orang yang memerintahkan ribuan rakyat Aceh. Mereka berseragam rapi, dengan komando pedang, seolah-olah menghindari darah sebangsa yang menodai ujung senjata mereka.


Itulah puncak dari penjajahan, bukan hanya menaklukkan tubuh, tapi juga jiwa dan kesetiaan.


---


Catatan Sejarawan Kolonial


Seorang pejabat kolonial, Van Deventer (1904), menulis: “Banyak serdadu Jawa dan Ambon direkrut bukan karena kesetiaan, tapi karena kelaparan dan pajak yang menjerat.”


Namun apa pun insentifnya, sejarah mencatat mereka berdiri di sisi penjajah. Sementara rakyat kecil lain, tanpa gaji, tanpa seragam, rela mati di hutan demi mempertahankan kehormatan bangsanya.


Itulah bedanya antara yang lapar tapi setia,

dan yang lapar tapi menjual jiwa.


---


Dosa yang Tak Pernah Dihisab


Setelah Indonesia merdeka, sebagian bekas Londo Ireng kembali ke kampung halaman. Ada yang hidup dalam rasa bersalah, ada yang menyembunyikan masa lalunya, tapi banyak pula yang tetap bangga karena “pernah jadi tentara Belanda”.


Sebagian bahkan menolak bergabung dengan TNI setelah kemerdekaan dan memilih kembali membantu Belanda dalam Agresi Militer. Mereka dikenal sebagai KNIL pasca-merdeka, dan kelak dipindahkan ke Belanda bersama keluarganya.


Di sana, mereka hidup sebagai “orang Indonesia yang kehilangan tanah air”. Mereka mengira telah berkhianat demi keamanan, namun justru kehilangan segalanya: bangsa, harga diri, dan tempat berpulang.


---


Londo Ireng di Zaman Modern


Kini, tak ada lagi KNIL, tak ada lagi kolonialisme. Namun roh Londo Ireng belum mati. 


Ia hidup dalam:

- pejabat yang menjual tambang dan tanah kepada asing,

- pengusaha yang menindas pekerja bangsanya,

- birokrat yang tunduk pada tekanan luar negeri,

- influencer yang membenarkan penjajahan dengan kata “investasi”.


Mereka bukan lagi membawa senapan, tapi membawa pena, kontrak, dan tanda tangan. Namun dampaknya sama, menindas saudara sendiri demi kepentingan tuan lain.


---


Pelajaran dari Sejarah


Londo Ireng adalah peringatan bagi bangsa ini, bahwa penjajah tidak selalu datang dari luar, terkadang datang dari hati yang lemah dan kesetiaan yang dijual murah.


Tidak semua orang miskin memilih menjadi pengkhianat, tidak semua orang miskin yang membunuh bangsanya.


Mereka yang tetap bertahan di pihak rakyat, meski kelaparan, meski tanpa upah adalah pahlawan sejati. Mereka yang memilih aman dengan menindas saudaranya, adalah pengkhianat, betapa pun pahitnya alasan yang mereka bawa.


---


Jangan Jadi Londo Ireng Kedua


Sejarah tidak perlu disesali, tapi harus diingat. Karena hari ini, kondisinya berbeda, penjajah tidak lagi datang dengan kapal, tapi dengan perusahaan. Tidak lagi membawa meriam, tapi membawa dokumen kerja sama. Dan mereka masih punya tentara bukan berseragam cokelat, tapi berdasi dan berkursi empuk.


Selama kita masih menindas sesama demi kenyamanan pribadi, selama kita masih menukar tanah air dengan kekuasaan, maka kita belum benar-benar merdeka.


---


Sumber:

Arsip KITLV Leiden

Museum Bronbeek, Arnhem

Arsip Nasional Belanda

De Locomotief (1900–1915)

Van Deventer, Een Eereschuld (1904)

J. van 't Veer, De Atjeh-Oorlog (1969)

Multatuli, Max Havelaar (1860)


#LondoIreng #KNIL #Kolonialisme #PerangAceh #Jasmerah #SejarahIndonesia