Versi Lain Serangan Umum 1 Maret 1949: Ketika Inisiatif Tak Hanya Milik Soeharto



Ketika dentuman senjata membelah pagi Yogyakarta pada 1 Maret 1949, dunia tersentak. Ibukota Republik yang semula dikuasai Belanda tiba-tiba bergemuruh oleh perlawanan rakyat dan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Peristiwa ini dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949, titik balik perjuangan yang membuktikan bahwa Republik Indonesia belum musnah. Namun, dibalik heroisme itu, terdapat versi lain yang menantang narasi sejarah resmi: benarkah ide besar ini datang dari Letnan Kolonel Soeharto, atau justru dari para komandan lain di atasannya?


Awal dari Amarah dan Strategi


Pada awal Februari 1949, Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade X Wehrkreise III, sedang menyiarkan siaran berita luar negeri. Bersama Purhadi, seorang pejabat perhubungan, ia mendengar kabar mengejutkan: Belanda menolak perundingan PBB dan mengklaim bahwa Republik Indonesia telah lenyap.


Soeharto murka. Ia merasa dunia perlu tahu bahwa klaim itu dusta. Dari situ, menurut otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, lahirlah gagasan untuk melancarkan serangan pada siang hari agar dunia internasional dapat menyaksikan bahwa TNI masih eksis dan berani.


Tanpa menunggu instruksi dari atas, Soeharto mulai mengoordinasikan pasukannya. Ia mengaku tidak bisa berkomunikasi dengan Panglima Divisi III, Kolonel Bambang Sugeng, karena kondisi peperangan yang memutus jalur komunikasi. “Waktu itu tidak ada komunikasi antara pimpinan TNI,” kata Soeharto dalam buktinya.


Namun, versi ini tidak berdiri sendiri. Ada saksi sejarah lain yang memberikan sudut pandang berbeda.


Kesaksian Wiliater Hutagalung: Serangan Itu Perintah Jenderal Soedirman


Sementara Soeharto menyiapkan pasukannya, di tempat lain, Panglima Besar Jenderal Soedirman tengah berada di Pacitan. Ia juga mendengar kabar yang sama: Belanda menolak resolusi PBB karena menganggap Indonesia telah punah.


Soedirman marah. Ia segera mengadakan rapat mendadak dengan para komandan yang berada di sekitarnya, termasuk Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, seorang perwira teritorial yang kelak menjadi Saksi penting sejarah. Dalam rapat itu, Soedirman memerintahkan dilakukannya serangan besar-besaran sebelum Maret 1949 sebagai jawaban terhadap propaganda Belanda.


Perintah itu kemudian diteruskan oleh Hutagalung kepada Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III. Dari sini, menurut banyak catatan sejarah alternatif, ide Serangan Umum sebenarnya berasal dari Jenderal Soedirman, bukan dari Soeharto secara pribadi.


Instruksi Rahasia Kolonel Bambang Sugeng


Menindaklanjuti perintah Jenderal Soedirman, Kolonel Bambang Sugeng segera bertindak cepat. Pada tanggal 18 Februari 1949, ia mengeluarkan instruksi rahasia kepada seluruh komandan di bawah Divisi III, termasuk kepada Soeharto selaku Komandan Wehrkreise III.


Isi surat itu jelas: laksanakan serangan besar-besaran terhadap Yogyakarta antara tanggal 25 Februari sampai dengan 1 Maret 1949.

Mengapa Yogyakarta yang dipilih? Menurut penulis sejarah Batara R. Hutagalung, pilihan ini sangat strategis: Yogyakarta adalah ibu kota Republik Indonesia dan tempat bernaung banyak jurnalis asing serta pengamat militer PBB.


Jika serangan berhasil, dunia akan tahu bahwa Republik Indonesia masih hidup. Selain itu, Kolonel Bambang Sugeng menyarankan agar para perwira yang bisa berbahasa asing ikut diturunkan ke lapangan agar bisa langsung berbicara kepada wartawan internasional sebuah langkah diplomatik yang brilian di tengah medan tempur.


Dua Pertemuan Rahasia Sebelum Serangan


Sejarah mencatat, sebelum Serangan Umum meletus, terjadi dua pertemuan rahasia antara Bambang Sugeng dan Soeharto.


Pertemuan pertama berlangsung di Brosot, dekat Wates, pada tanggal 19 Februari 1949.

Sebelumnya, Bambang Sugeng sempat bertemu dengan Kolonel TB Simatupang di Banaran untuk membicarakan kekuatan pasukan dan rencana serangan. “Kami membahas berapa kekuatan yang bisa dikumpulkan dan bagaimana strategi pelaksanaannya,” tulis Simatupang dalam bukunya Laporan dari Banaran.


Pertemuan kedua terjadi di Panjatan, antara 24–25 Februari 1949.

Dalam pertemuan itu, Soeharto melaporkan kesiapan pasukan dan skema pelaksanaan operasi yang telah diperintahkan Kolonel Bambang Sugeng.


Beberapa hari kemudian, pada tanggal 1 Maret 1949, sejarah mencatat letusan pertempuran besar di Yogyakarta yang menggemparkan dunia. Dalam enam jam serangan, pasukan Indonesia berhasil merebut ibu kota dan mengibarkan Merah Putih di jantung kota, membuat Belanda panik dan dunia internasional tersadar bahwa Indonesia belum kalah.


Akhir dari Polemik, Awal dari Kebanggaan


Versi sejarah resmi boleh menyebut ide datang dari Soeharto, namun banyak pakar kini mengakui bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah hasil kolaborasi dan komando berjenjang: dari Jenderal Soedirman, Kolonel Bambang Sugeng, hingga Letkol Soeharto yang memimpin langsung di lapangan.


Serangan ini bukan sekedar kemenangan militer melainkan kemenangan diplomasi, moral, dan kebanggaan nasional. Ia menegaskan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih berdiri, dan semangat kemerdekaan takkan pernah padam.

Sumber : Merdeka.com


(***)