“Situs Makam Keramat Walahir: Jejak Sang Ratu Galunggung”
Di tanah hening yang kini disebut Walahir, tersimpan kisah seorang perempuan agung yang nyaris tak terlupakan waktu yaitu Dewi Citrawati, putri kedua Sang Resiguru Batara Hiyang Purnawijaya, Maharaja Sunda. Dialah sosok yang kelak dikenal sebagai Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung yang meninggalkan jejak suci dalam sejarah tatar Sunda.
Dewi Citrawati dipersunting oleh Resiguru Sudakarmawisesa, seorang pria bijak yang lebih memilih jalan sunyi pertapaan daripada takhta. Karena kebijaksanaan dan kebijaksanaan sang suami, tampuk kekuasaan pun diserahkan kepada Dewi Citrawati, menjadikannya ratu yang memerintah dengan tangan lembut dan hati penuh cahaya.
Jejaknya abadi dalam Prasasti Geger Hanjuang, sebuah batu sakral yang ditemukan di lereng Gunung Galunggung, tepatnya di Kabuyutan Linggawangi, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten Tasikmalaya. Dari sinilah sejarah Galunggung mulai berbicara, menyingkapkan keberadaan sebuah kerajaan besar yang dahulu disebut Galuh Agung atau Galunggung.
Kini, prasasti berharga itu tersimpan di Museum Nasional Jakarta, tercatat sebagai koleksi D.26. Tulisan kuno yang terukir di batu tersebut menggunakan aksara Sunda Kuno, dengan teks yang berbunyi:
“tra bai gune apuy na-sta gomati sakakala rumatak disusuk (k) ku btari hyang pun.”
Setelah itu, prasasti itu menyampaikan pesan penting:
“Pada hari ke-13 bulan Badra tahun 1033 Saka, Rumatak disusuk oleh Batari Hiyang.”
Jika dihitung dengan penanggalan Masehi, peristiwa sakral itu terjadi pada 21 Agustus 1111 Masehi yaitu hari ketika Batari Hiyang Janapati menorehkan tanda kebesaran di bumi Galunggung.
Kini, Situs Makam Keramat Walahir menjadi Saksi bisu perjalanan spiritual dan kepemimpinan seorang ratu yang bukan hanya berdaulat atas rakyatnya, tetapi juga atas warisannya sendiri, menyatukan kekuasaan, kebijaksanaan, dan kesucian dalam satu nama yang harum sepanjang zaman:
Batari Hiyang Janapati, Ratu Galunggung.
(***)