Ngerinya Soeharto! Jenderal AH Nasution Lagi Salat Jenazah, Ditarik Disuruh Keluar
Di balik wibawa dan senyum dinginnya, Presiden Kedua Republik Indonesia, Jenderal Besar Soeharto, menyimpan kisah kelam tentang rasa benci dan dendam terhadap sosok-sosok tertentu di masa lalu. Pria yang menjabat selama 32 tahun penuh kekuasaan mutlak itu dikenal bukan hanya karena kebijakannya yang keras, tapi juga karena sikap pribadinya yang sulit memaafkan.
Salah satu kisah yang paling menyentuh dan sekaligus memilukan datang dari Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, mantan atasannya sendiri di masa revolusi. Kisah ini diungkapkan oleh Panda Nababan, politikus senior yang pernah menyaksikan langsung bagaimana “Bayang Dendam” Soeharto bekerja.
?? Saat Sang Mantan Atasan Dihina di Rumah Tuhan
Dalam sebuah wawancara di kanal Total Politik (Rabu, 4 Januari 2023), Panda Nababan menuturkan bagaimana ia menjadi saksi peristiwa tak lazim yang menggambarkan betapa besar pengaruh Soeharto terhadap lingkungan sekitar.
“Saya sendiri menyaksikan Jenderal AH Nasution di Jalan Dr. Saharjo, di sebuah masjid besar. Beliau sedang memberikan khutbah Jumat, tapi tiba-tiba ditarik turun dari mimbar,” tutur Panda.
Tanpa alasan yang jelas, ajudan datang dan meminta turun. Semua jemaah terdiam. Tidak ada yang berani bertanya. Dalam hitungan menit, suasana berubah beku. Mengapa? Karena Soeharto disebut tidak ingin berada di satu ruangan dengan orang-orang yang dibencinya termasuk Nasution.
???? “Tukang Pukul” Sang Presiden
Panda juga mengungkapkan bahwa Soeharto memiliki lingkaran orang kepercayaan yang ia sebut sebagai “tukang pukul”. Mereka bukan hanya pengawal, tapi penerjemah bersedia tak terucapkan sang presiden.
“Jadi sebenarnya mereka ini memahami keinginan Soeharto dengan sempurna,” kata Panda.
“Kalau Soeharto enggak mau satu atap dengan orang yang dibencinya, ya harus dikeluarkan dulu orang itu.”
Perintah itu tak selalu datang dalam bentuk kata. Kadang-kadang hanya menimbulkan dingin, atau diam panjang namun para 'tukang pukul' tahu bertahan apa yang harus dilakukan.
????? Pengusiran di Tengah Doa Jenazah
Namun kisah paling menyayat hati terjadi saat upacara salat jenazah Wakil Presiden Adam Malik di Jalan Diponegoro, Jakarta. Di tengah doa dan duka, suasana tiba-tiba berubah hening ketika seorang ajudan datang menghampiri AH Nasution yang sedang menunaikan salat.
Dengan kasar, bajunya ditarik. Ia disuruh keluar dari barisan jemaah, diminta duduk di teras.
Hanya beberapa menit berselang, Soeharto tiba. Semua orang tahu, tak seorang pun boleh berada di dalam ruangan yang sama dengannya jika dia tidak berkenan.
Panda melanjutkan, “Begitu Soeharto pergi, Nasution baru boleh masuk lagi. Bayangkan, seorang Jenderal Besar, pahlawan bangsa, diperlakukan seperti itu.”
????? Kekuasaan yang Menentukan Siapa yang Layak Hadir
Kisah ini menunjukkan betapa besarnya kekuasaan Soeharto hingga mampu mengatur bahkan siapa yang boleh melayat dan siapa yang harus disingkirkan. Dalam sistem yang tunduk pada satu suara, rasa dendam pribadi pun bisa berubah menjadi keputusan yang tidak bisa diganggu gugat.
Bagi Nasution, ini bukan sekedar penghinaan pribadi, melainkan luka lama yang tak pernah sembuh sejak peristiwa pemberhentian Soeharto dari TNI di tahun 1959 dan tragedi G30S 1965 yang mengubah segalanya.
?? Bayang Dendam dalam Sejarah
Waktu terus berjalan, namun cerita ini tetap menjadi pengingat: bahwa kekuasaan, jika terlalu lama digenggam, dapat melahirkan bayangan balas dendam yang lebih tajam dari senjata.
Soeharto mungkin meninggalkan warisan pembangunan, tetapi juga meninggalkan jejak dingin tentang bagaimana kekuasaan bisa mempermalukan bahkan sesama jenderal besar bangsa sendiri.
Sumber : suara.com
(***)