Kahar Muzakkar Komandan Pimpinan Sulawesi Selatan

Inilah fakta yang ditutup rapat oleh sejarah sekuler: tidak semua “penyerahan diri” anggota CTN dan TKR kepada TT-VII adalah pengkhianatan. Sebagian besar justru merupakan hasil pembersihan internal yang dilakukan oleh Kahar Muzakkar demi menjaga kesucian perjuangan Islam. Kahar menolak membiarkan pasukannya diisi oleh perampok, pemerkosa, penipu, penjudi, dan kriminal masyarakat. Siapa pun yang melakukan kejahatan—diusir. Siapa pun yang merusak nama perjuangan—dihukum. Siapa pun yang mengotori syariat—dinyatakan musuh. Prinsipnya jelas: “Pasukan yang di dalamnya ada maksiat tidak akan ditolong oleh Allah.”


Sebaliknya, TT-VII saat itu sedang kekurangan tenaga untuk mengisi batalyon-batalyon barunya. Mereka butuh jumlah, bukan kualitas moral. Mereka butuh seragam terisi, bukan pasukan suci. Maka para kriminal yang dikejar oleh pasukan Kahar justru ditampung, dipakaikan seragam, diberi senjata, lalu diumumkan ke publik sebagai “mantan anak buah Kahar Muzakkar.” Sehingga kriminal yang lari dari hukum Islam, tiba-tiba diubah menjadi propaganda bahwa “pengikut Kahar menyerahkan diri.” Padahal mereka bukan lari dari Kahar—mereka lari dari syariat yang Kahar tegakkan.


Inilah pengkhianatan sejarah: sampah moral yang dibersihkan Kahar justru diangkat menjadi alat propaganda. Yang sebenarnya penjahat disebut “mantan pengikut.” Yang bersih dituduh “pemberontak.” Yang ingin menegakkan hukum Allah dicap “perusuh,” sementara yang melindungi kriminal diberi legitimasi negara. Buku-buku sekuler sengaja membalikkan kenyataan agar wajah rezim tidak terlihat busuk.


Di gunung, Kahar Muzakkar tidak memikirkan citra atau popularitas. Ia hanya memikirkan satu hal: “Bagaimana Allah menilai perjuangan ini?” Maka ia lebih memilih pasukan sedikit tapi bersih daripada pasukan besar tapi kotor. Ia tidak mau menang dengan kekuatan manusia. Ia hanya ingin menang dengan pertolongan Allah. Karena itu ia menolak kriminal. Menolak maksiat. Menolak pasukan kotor.