Refleksi Dilema Bung Karno dan Jejak Moralitas Ali bin Abi Thalib
PERSIMPANGAN JALAN SEORANG PROKLAMATOR
Refleksi Dilema Bung Karno dan Jejak Moralitas Ali bin Abi Thalib
---
> “Di dunia ini, ada keputusan yang beratnya hanya bisa dirasakan oleh mereka yang dipilih. Seorang pemimpin, seperti langit yang gelap, tidak akan pernah bisa menebak arah angin yang akan datang hingga badai yang datang menghantam.”
— Jiwa Emosi Biru, 2025
---
Bro, masih inget gak?
Hari Jumat lalu gue sempat ngebahas “Republik Bebal”, nyandingin dua tokoh besar yang lahir dari habitatnya: Nabi Muhammad SAW dan Bung Karno. Dua pemimpin yang memikul beban sejarah, sama-sama berdiri di tengah badai pendingin, dan tetap harus mikir jernih ketika dunia di sekelilingnya kembali runtuh.
Dan tadi waktu jumatan, khatib yang sama mengangkat satu nama lagi: Ali bin Abi Thalib, sosok yang setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, berdiri di persimpangan jalan.
Dia terpaksa memilih langkah yang bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk umat yang sudah mengulang.
Pilihan yang akhirnya menyeretnya ke tragedi besar: Perang Jamal, 656 M.
Dari situ, satu pertanyaan kejedot di kepala gue:
Apa bedanya dilema Ali dengan dilema Bung Karno setelah G30S/PKI?
Jawabannya nyaris: gak ada.
Ini bukan penyamaan derajat tokoh, tapi penyamaan pola dilema: dua pemimpin yang dipaksa memilih dalam situasi yang sudah hancur sebelum mereka menyentuhnya.
Mereka sama-sama berdiri di antara dua jurang. Satu langkah saja, salah ambil keputusan, bisa hancur ini negeri.
Dan ketika diam terlalu lama, hancur juga.
Makanya sebelum lanjut, siapin kopi. Lo harus fokus.
Kita bakal nyemplung ke labirin batin dua pemimpin yang hidup di dua zaman berbeda, tapi diuji oleh luka yang sama:
memilih kehancuran yang paling sedikit melukai.
---
JAKARTA: Setelah G30S/PKI
Ada satu masa ketika negara ini berdiri di tepi jurang.
Pasca G30S/PKI, Jakarta bukan lagi kota.
Dia berubah menjadi ruang penuh bisik, curiga, dan ancaman.
Semua pihak tidak bisa menjawab. Semua narik arah.
Dan Bung Karno berdiri sendirian di tengah pusaran itu.
Bukan karena dia lemah.
Tapi karena setiap pilihannya berpotensi menyalakan perang saudara.
Terlalu cepat bergerak, negara bisa pecah.
Terlalu lama diam, kendali negara direbut paksa.
Di dalam dilema itu lahir: bukan soal keberanian…
tapi soal mana kehancuran yang paling bisa ditanggung.
Di tengah tekanan itu, Bung Karno melontarkan dua pernyataan yang sering jadi bahan perdebatan:
1. Pidato 5 Oktober 1965
“Jangan mengobarkan permusuhan terhadap PKI secara membabi buta.”
Ini langsung dibaca publik sebagai pembelaan. Padahal konteksnya: dia nahan bangsa supaya gak meledak makin parah.
2. Pidato Nawaksara, Juni 1966
“Tanggung jawab mengenai keamanan tetap berada pada Presiden/Panglima Tertinggi.”
Kalimat ini bikin elite militer gerah. Karena BK dianggap seperti mengatakan: saya masih memegang kendali, saat sebagian pihak yang menganggap kendali itu sudah hilang.
Kedua pidato itu bukan kesalahan besar dalam arti bodoh.
Itu kesalahan dalam arti tragis: keputusan yang benar secara moral, tapi salah timing di tengah kekuatan politik yang sudah siap ngelindes.
---
PENAFIAN ?
"Penilaian ini bukan pembelaan. Ini analisis situasional berdasarkan dokumen sejarah, tekanan geopolitik, dan fragmentasi kekuasaan 1965–1966."
---
Dan yang paling pedih:
Rakyat kecil yang gak ngeti apa-apa ikut terseret jadi korban permainan kekuasaan.
Di titik ini dilema Bung Karno bukan cuma soal politik.
Ada yang lebih pahit: kenyataan bahwa rakyat yang gak salah apa-apa ikut gilas roda sejarah.
Lo kira dia gak mikir itu?
Lo kira dia duduk santai sambil main gaplek?
Justru itu yang bikin dia makin kepepet.
Dia tau satu instruksi salah bisa membuat sungai berubah warna.
Dia tau ribuan keluarga bisa hilang cuma karena bisik-bisik elite.
Dan tekanannya bukan hanya dari dalam negeri.
Setiap hari dia dihantam laporan embargo Barat, blokade ekonomi, dan tekanan asing yang masih belum rela Indonesia berdiri tanpa jadi satelit siapa pun.
Buat Bung Karno, PKI, dalam politik Bung Karno, diposisikan sebagai salah satu penopang revolusi. Bukan soal suka atau tidak suka, tapi kenyataan geopolitik saat itu menempatkan mereka sebagai bagian dari strategi keseimbangan (NASAKOM) menghadapi tekanan blok Barat.
Tapi begitu tragedi 30 September meledak, semuanya kembali ngehantam dia.
Kekuatan yang tadinya dia pakai buat menahan tekanan luar malah berubah jadi bumerang yang nancep di dada sendiri.
Pilihannya serba salah:
bergerak cepat, pecah perang saudara;
diam, kekuasaan direbut pelan-pelan.
Bung Karno menegaskan:
> “Jangan sampai rakyat menjadi korban karena kesimpangsiuran berita.”
— Ir Soekarno, Oktober 1965
Dan di tengah kekacauan itu, bukan elite yang paling menderita…
tapi rakyat yang bahkan belum pernah mengetahui apa itu “front massa” atau “manifesto politik”.
Ini dilema yang cuma bisa membuat orang hidup dengan beban sejarah.
Bukan mereka yang jadi pahlawan lima slide.
Dilema Bung Karno bukan soal yang benar salah.
Ini soal waktu.
Lo gak punya kemewahan mikir panjang kalau negara sudah berdiri di tepi keruntuhan.
---
DUA DILEMA, SATU PELAJARAN: Bung Karno dan Ali bin Abi Thalib
Diamnya Bung Karno bukan kosong.
Itu keberanian tanpa suara.
Dan kalau kita mundur 1300 tahun, sejarah mantulin cerminnya sendiri.
Setelah Usman terbunuh, Ali bin Abi Thalib juga berdiri di titik yang sama suramnya.
Umat ??Islam pecah.
Semua orang meminta jawaban instan, padahal kenyataannya tidak mewujudkannya.
Ali bisa memilih jalan aman.
Atau tetap tegas menegakkan keadilan betapa pun risiko perang saudara semakin besar.
Itu sebabnya Ali pernah berkata:
> “Orang yang memimpin umat berada di antara dua ketakutan: ketakutan atas kebenaran yang belum diketahui, dan ketakutan atas kebatilan yang sudah dianggap benar.”
— Ali bin Abi Thalib
Perang Jamal pun meledak.
Bukan karena Ali mau perang.
Tapi karena situasi memaksa tragedi itu terjadi.
Keputusan pemimpin kadang bukan antara baik dan buruk.
Tapi antara dua luka…
dan memilih mana yang paling sedikit mematikan.
---
Dua Pemimpin, Satu Ruang Sunyi
Ali dan Bung Karno sama-sama berdiri di persimpangan jalan yang maksa mereka diam dan manusia biasa mungkin tidak sanggup membayangkannya.
Prinsip atau kompromi.
Umat ??selamat atau bangsa terpecah.
Keputusan cepat atau kehancuran perlahan.
Di puncak kekuasaan, tidak ada pilihan yang tidak berlumur darah atau air mata.
Dan kalau ada satu hal yang menyatukan keduanya, itu adalah:
Kadang-kadang pemimpin harus rela dimusuhi sejarah demi menyelamatkan masa depan.
---
JUNG DAN SHADOW KEKUASAAN: Menyelam ke Ruang Gelap Manusia
Pada titik ini, pergulatan Bung Karno sudah keluar dari level politik.
Ini udah masuk wilayah batin.
Dalam Aion (1951), Jung berkata:
> “Bayangan adalah kebenaran yang ditolak manusia.”
Pasca 1965, Bayangan bangsa ini besar dan berat.
Ketakutan elite, paranoia militer, dan luka sosial yang dilempar ke satu manusia.
Shadow bangsa akhirnya numpuk di punggung satu orang, karena rakyat tidak diberi ruang memahami kompleksitas. Kekacauan kolektif berubah menjadi beban pribadi seorang presiden.
---
DARI PSIKOLOGI KE TASAWUF: Inti Manusia
Gilirannya al-Ghazali.
Dalam Ihya' Ulumuddin, beliau menulis:
> “Manusia membinasakan dirinya saat ia mengira dirinya benar lalu menutup telinga dari suara hati.”
Pasca 1965, negara ini hidup bertahan seperti gambaran itu.
Yang salah diizinkan.
Yang benar dimatikan.
Gelap disulap jadi terang.
Pembusukan moral bukan karena kejahatan besar…
tapi karena orang berhenti memeriksa dirinya sendiri.
---
JEJAK BAYANG DAN BATIN: Pelajaran dari Jung dan al-Ghazali
Keduanya mengajarkan hal yang sama:
Kematangan manusia bukan soal siapa yang lo bela.
Tapi apakah kamu berani mengungkapkan kebenaran yang paling menyakitkan.
Empati.
Nalar.
Kejujuran batin.
Itu syarat dasar sebelum lo sok-sokan ngomongin sejarah.
---
NYINYIRISME: Penyakit Massal Tanpa Kejujuran
Sekarang?
Kebijaksanaan dua tokoh itu buyar jadi debu digital.
Banyak orang sok tahu sejarah padahal bacaannya hanya screenshot WhatsApp.
Mereka ketawa-ketawa sambil ngehina Bung Karno.
Mereka ketawa sambil meremehkan tragedi 1965.
Kalau Jung hidup hari ini, mungkin dia bilang Shadow bangsa ini sudah benar-benar bulat.
Kalau al-Ghazali hidup hari ini, beliau mungkin cuma geleng-geleng.
---
REFLEKSI & PENUTUP
Sebelum lo nyinyir atau sok pinter soal 1965, tanya dulu diri lo:
“Kalau gue hidup di zaman itu, apa gue yakin keputusan gue lebih bijak dari Bung Karno?”
Ini bukan soal bela-membela.
Ini soal kedewasaan intelektual.
Terkadang sejarah bukan butuh jawaban.
Sejarah cuma butuh manusia yang mau berpikir.
---
> “Yang paling berbahaya bukanlah kegelapannya di masa lalu, tapi kesombongan manusia yang merasa dirinya lebih terang.”
— Jiwa Emosi Biru, 2025
---
SUMBER REFERENSI
• Madelung, Wilferd. Suksesi Muhammad. 1997
• Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal. 2006
• Jung, CG Aion. 1951
• Al-Ghazali. Ihya' Ulumuddin. 1100 M
---
PROMO BUKU AL-GHAZALI Di SHOPPE
Buat yang mau dalemin bagian batin ala al-Ghazali, cek edisi lengkap Ihya' Ulumuddin. Klik tautan di bawah ini. Dan silahkaan segera miliki bukunya.
Berguna bagi orang yang ingin meningkatkan kemampuan berpikir, bukan hanya kemampuan ngegas di komentar.
https://s.shopee.co.id/an_redir?origin_link=https%3A%2F%2Fshopee.co.id%2Fproduct%2F1598125912%2F50201498173%3Fgads_t_sig%3DVTJGc2RHVmtYMTlxTFVSVVRrdENkVHQ3ZkZSUTMrR3pBWmZZNzdrcnRBMi9 DUkdYK1BRZUF1a3dyWmNlVVNjWFFhMDNkNXpDOURCQ2VwVTZ4Rjg2ek00Nmk1OHlsZjQ4anBQWEdJUTdCWVI2VGU3ZjV5eXMzeWJxTlNYd01tSUtEQUh2cnNQWS9FeU5SL1YrNlJyTFl3PT0&sm=fb_partner&affiliate_id=11379401497
(***)