CAKRABIRAWA — Pasukan Bayangan Sang Presiden
Di balik tembok tinggi Istana Negara, jauh dari sorotan publik, ada sebuah kekuatan yang menjaga setiap denyut nadi kekuasaan negeri ini. Mereka bukan sekedar prajurit. Mereka adalah Cakrabirawa pasukan elit yang menjadi bayang-bayang di belakang Presiden Soekarno pada masa paling bergolak dalam sejarah Republik.
Pada tahun 1959, ketika Soekarno menetapkan kembali UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi Terpimpin, kekuasaan Presiden berada di puncaknya. Namun justru di titik itulah muncul rasa waswas. Intrik politik, pertarungan ideologi, dan rivalitas antar angkatan menjadikan negeri ini seperti bara yang siap menyala.
Maulwi Saelan, Wakil Komandan Cakrabirawa, pernah menuturkan:
> “Aku ini presiden, tapi aku tak selalu tahu siapa yang benar-benar menjagaku.”
Lahirnya pasukan Bayangan
Pada tahun 1962, Resimen Tjakrabirawa resmi dibentuk. Namun masyarakat hanya mengenal sebagian wajah mereka.
Tugas utama mereka bertiga lapis:
1. Mengamankan Presiden secara fisik
2. Garis kontra-intelijen melawan infiltrasi politik
3. Mengawal misi rahasia dalam situasi genting
Mereka bukan sekedar pengawal mereka adalah alat strategi negara, berada langsung di bawah komando Presiden.
Loyalitas yang Menjadi Pertaruhan
Cakrabirawa terdiri dari prajurit terbaik AD, AU, AL, dan Polisi. Mereka bukan pasukan partai, bukan alat pribadi seseorang. Namun, karena Sukarno adalah pusat kekuasaan, kesetiaan mereka tampak seperti kesetiaan kepada swasta, bukan institusi. Sejarahnya mulai memelintir sendiri.
Malam Gelap 30 September 1965
Ketika badai G30S pecah, sebagian kecil anggota Batalyon 1 Cakrabirawa ikut terseret dalam pengunduhan para jenderal tanpa memahami sepenuhnya konteks operasi. Namun fakta sejarah mencatat: banyak anggota Cakrabirawa justru tetap menjaga Presiden Soekarno agar tidak menjadi sasaran.
Pada malam itu, pasukan ini pecah oleh kabut dan informasi kepentingan yang saling mengganggu. Mereka menjadi pion dalam permainan politik yang jauh lebih besar dari diri mereka.
Akhir dari pasukan Bayangan
Setelah keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966, kekuasaan berpindah ke tangan Soeharto. Cakrabirawa dianggap terlalu dekat dengan Soekarno dan terlalu kuat untuk dibiarkan hidup.
Mereka dibubarkan bukan karena gagal menjalankan tugas, tetapi karena kalah dalam pertarungan kekuasaan.
Tidak ada monumen untuk mereka. Tidak ada peringatan tahunan. Tidak ada penghargaan atas kesetiaan yang mereka perjuangkan.
Hanya jejak langkah sunyi yang tertinggal di lantai marmer Istana, hanya bisikan sejarah yang tersisa di ruang-ruang gelap negara ini.
Penutup
Cakrabirawa bukan sekadar pasukan. Mereka adalah Saksi paling dekat dari masa paling rumit dalam perjalanan Indonesia. Mereka berdiri di antara cahaya kekuasaan dan bayang-bayang sejarah dan di sanalah nama mereka terus melonjak, meski dalam diam.
(***)