Perbedaan mencolok antara Suku Toraja dengan yang lainnya

Perbedaan mencolok antara Suku Toraja yang mayoritas beragama Kristen dan tetangganya seperti Bugis, Makassar, serta Mandar yang mayoritas beragama Islam tidak terjadi secara kebetulan, melainkan merupakan hasil panjang dari interaksi antara faktor geografis, sejarah politik, dan intervensi kolonial di Sulawesi Selatan. 


Suku Toraja yang mendiami wilayah pegunungan Tana Toraja hidup relatif dilindungi dari jalur perdagangan pesisir sehingga terlambat menyentuh arus Islamisasi yang berkembang sejak abad ke-16 di kawasan pesisir Sulawesi. Sementara itu, suku-suku pesisir seperti Bugis, Makassar, dan Mandar lebih dulu berinteraksi dengan pedagang Muslim dari Arab, Gujarat, dan Melayu yang memperkenalkan Islam melalui jaringan dagang dan kekuasaan politik kerajaan. Islam kemudian berkembang pesat setelah raja-raja Gowa, Tallo, Bone, dan Wajo memeluk agama Islam sekitar tahun 1605 dan menjadikannya sebagai agama kerajaan. 


Sebaliknya, Toraja yang tetap mempertahankan kepercayaan adat Aluk To Dolo baru mengenal agama Kristen pada awal abad ke-20 ketika misionaris Belanda dari Gereformeerde Zendingsbond datang bersama pemerintahan kolonial. Masuknya misi Kristen ini bukan hanya membawa ajaran agama, tetapi juga pendidikan dan layanan kesehatan yang menjadi pintu modernisasi bagi masyarakat Toraja. Selain itu, Kristenisasi di Toraja juga merupakan strategi kolonial Belanda untuk membatasi pengaruh Islam dari kerajaan-kerajaan pesisir. 


Dengan demikian, letak geografis yang terpencil, perbedaan akses sejarah terhadap jalur perdagangan dan politik, serta peran kolonial Belanda menjadi kunci utama yang menjelaskan mengapa Toraja beragama Kristen sementara tetangganya Bugis, Makassar, dan Mandar mayoritas beragama Islam. 


Sumber: Nooy-Palm (1975); Bigalke (1981); Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1984); Mappangara & Abbas (2003); Hefner (2009); Universitas Gadjah Mada (2019); Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar (2023)

(***)