R I N D U Bukan Tentang Siapa, Tapi Tentang Bagian Diri yang Diam-Diam Sudah Mati
---
Di antara ingatan, doa, dan luka kolektif
kami cuma sedang berusaha pulang
ke sesuatu
yang bahkan…
tak lagi ingat wajah kita sendiri.
> “Rindu bukan soal jarak.
Rindu adalah ketika sejarah, cinta, dan Tuhan
tidak lagi berada di tempat yang sama.”
— Jiwa Emosi Biru, 2025
---
Gue pernah percaya
rindu itu lembut.
Kayak hujan yang jatuh pelan di atap seng sore hari.
Kayak nama yang muncul tanpa sengaja
di antara ribuan wajah.
Tapi ternyata, bro…
rindu lebih mirip luka yang belajar bicara.
Pelan.
Pasti.
Dan dalam diam…
ia menggerogoti.
Ada yang bilang, rindu adalah bentuk tertinggi dari cinta.
Tapi Hannah Arendt—filosofi yang hidup di tengah runtuhnya peradaban abad 20—pernah mengingatkan kita tentang kesetaraan modern:
bahwa manusia bisa hidup berdampingan, namun tercerabut dari makna dirinya sendiri.
Dan di sanalah rindu berdiam.
Bukan pada orang.
Bukan pada tempat.
Tapi pada makna.
Di kota yang ramai oleh klakson dan notifikasi,
di timeline yang ramai oleh tawa palsu dan pencitraan,
di antara ribuan pesan tak bernyawa,
lo sadar ga?
Banyak dari kita
sudah lupa asli suara diri sendiri.
Yang kita dengar sekarang hanya suara orang lain di kepala kita.
Apalagi ketika kita merasa sedang berpikir sendiri.
Rindu…
adalah teriakan jiwa
yang dipaksa diam di tubuh yang terlalu sibuk membayangkan-pura kuat.
Carl Jung, pakar psikologi yang membedah sisi tergelap manusia di abad yang penuh kehancuran, menyebutnya shadow — bagian diri yang kita kubur, kita tolak, kita lupa…
lalu suatu malam
ia datang dalam bentuk sepi
yang ga bisa dijelaskan.
Rindu
adalah bayangan yang tak kau akui,
selalu namun setia menunggu di belakangmu.
Dan Al-Ghazali — bukan sekadar sufi, tapi ulama, teolog, dan filsuf besar di zamannya yang penuh keraguan, fitnah, dan kebuntuan spiritual — pernah menulis bahwa…
di dalam diri tiap manusia
ada fitrah
yang selalu ingin pulang
ke asalnya.
Kalau begitu… rindu mungkin adalah panggilan pulang.
Pulang kepada kesadaran.
Pulang pada kejujuran.
Pulang pada Tuhan.
Tapi kita terlalu sibuk membangun dunia, sampai lupa caranya pulang ke dalam diri sendiri.
---
Kita hidup di zaman yang katanya canggih.
Pintar.
Terbuka.
Tapi kenapa rasanya
makin banyak orang yang kehilangan arah?
Pendidikan berkembang,
tapi akal sehat sekarat.
Teknologi melesat,
tapi empati makin langka.
Kita punya segalanya,
tapi tetap hampa.
Dan di tengah-tengahnya inilah…
rindu berubah jadi komoditas.
Dijual dalam lagu. Dibungkus dalam film. Dikutip dalam novel.
Salah satunya…
Rindu – Tere Liye .
Bukan sekadar kisah cinta, kawan.
Tapi kisah tentang perjalanan jiwa
yang diam-diam ingin sembuh dari dirinya sendiri.
Tentang manusia yang pergi jauh
bukan untuk menemukan dunia,
tapi untuk berdamai dengan batinnya.
Dan mungkin itu sebabnya
buku Rindu ga pernah benar-benar tentang “mereka”.
Ia tentang kita.
Tentang manusia yang kehilangan arah,
lalu menyebutnya: takdir.
Tentang kesepian yang terlalu agung, hingga hanya berani dipanggil: rindu.
Kalau lo mau mengendarainya
dari sudut yang berbeda…
link-nya gue taro di gambar bawah.
Bukan buat maksa.
Tapi buat hatinya lagi butuh pulang.
---
Tapi rindu terbesar bangsa ini gan…
bukan pada masa lalu.
bukan pada sosok yang sudah jadi patung.
Rindu terbesar bangsa ini
adalah pada akal sehat yang perlahan dicabut dari kepala kita sendiri.
Di tengah banjir informasi,
di tengah ribuan suara berteriak ingin didengar,
justru yang paling jarang ditemui
adalah… orang yang benar-benar berpikir.
Dan Bung Karno, jauh sebelum semua ini terjadi,
sudah memberi peringatan yang nyaris kita abaikan:
> “Belajar tanpa berpikir itu tidaklah berguna,
tapi berpikir tanpa belajar itu sangatlah berbahaya.”
— Ir. Soekarno
Bung Karno bicara soal berpikir.
Bukan karena dia menginginkan bangsa pintar.
Tapi karena beliau takut…
suatu hari nanti
bangsa ini akan berhenti bertanya.
---
Sekarang lihat sekitar lo.
Banyak yang belajar,
tapi malas berdoa.
Banyak yang bicara,
tapi alergi mendengar.
Banyak yang membaca,
tapi tak pernah memahami.
Timeline kita ramai oleh opini,
tapi sepi dari kebijaksanaan.
Semua ingin jadi benar,
tapi tak siap diuji.
---
[Diam dulu sejenak gan. Tarik napas lo perlahan...
Sekarang baca lagi dari atas.
Apa yang sebenarnya sedang kamu rindukan?]
---
Padahal yang membunuh bangsa ini
bukan kebodohan semata.
Tapi kesombongan orang yang merasa paling tahu
dan paling benar.
Dan di rindu itu berubah bentuk…
Bukan lagi rindu pada seseorang.
Bukan lagi rindu pada masa keemasan.
Tapi rindu pada manusia yang mau diam, berpikir, lalu bertanggung jawab atas pikirannya sendiri.
Dan di titik inilah —
gue tarik lagi lo ke zaman sekarang.
Lihat sekitar lo, Bro.
Orang-orang sibuk berdiskusi di komentar,
sementara yang di atas
tertawa sambil bagi kue kekuasaan.
Lihat generasi muda.
Terlalu banyak yang ingin terkenal, tapi terlalu sedikit
yang benar-benar ingin bijak.
Lihat pemimpin.
Terlalu banyak yang sibuk pencitraan,
tapi lupa:
kepercayaan itu dibangun,
bukan dibuat dengan filter.
Lalu kita bertanya…
“Kok bangsa ini begini ya?”
Jawabannya sederhana.
Karena kita semua
sedang merindukan sesuatu
tapi tak ada yang berani menyebut namanya:
Kebenaran.
Dan rindu yang tidak diakui
akan berubah jadi kemarahan.
Kekecewaan.
Kebencian.
Kekerasan pelan yang kita namai: biasa.
Bangsa ini ga butuh lebih banyak orang pintar gan.
Bangsa ini membutuhkan lebih banyak orang jujur.
Rindu kita
bukan pada romantisme masa lampau.
Rindu kita
pada keberanian untuk hidup benar hari ini.
---
> “Mungkin yang kita rindukan
bukan masa lalu,
tapi keberanian untuk jujur ??hari ini.”
— Jiwa Emosi Biru, 2025
Dan mungkin juga,
yang paling jauh dari kita saat ini
bukan orang lain…
tapi diri kita sendiri.
---
Sumber Referensi:
Tulisan ini bersandar pada jejak pemikiran Hannah Arendt (The Human Condition, 1958 — sama modern), Carl Jung (Aion, 1951 — shadow self), dan Al-Ghazali (Ihya' Ulum al-Din, ±1100 — fitrah & panggilan pulang).
---
Promo buku halus tapi nusuk: Tere Liye, Rindu — baca, dan lo bakal ngerti setitik rindu yang sama, disalurkan lewat kata, bukan peluru.
---