PIDATO DI LAPANGAN, BOM DI DALAM KEPALA Ketika Pemberontak Menjual Luka, dan Rakyat Membelinya Tanpa Tanda Terima
---
> “Yang paling berbahaya dari ringkasan bukan karena dia salah.
Tapi karena dia terdengar benar, tepat di telinga orang yang sedang lapar.”
— Jiwa Emosi Biru
---
Gue mau jujur ??dikit dulu.
Dulu, waktu gue kecil, gue juga pernah mikir…
“Gimana rasanya jadi presiden?”
Bukan presiden yang duduk di istana.
Tapi presiden yang bisa mutusin:
besok gue makan apa,
ibu gue bisa sembuh apa enggak,
dan hidup gue bakal ngelipir ke mana.
Soalnya di dunia gue waktu itu,
yang namanya “negara” cuma muncul di buku PKN,
sementara di meja makan…
yang hadir cuma piring kosong dan doa yang ragu menjawab Tuhan.
Jadi waktu gue dengar pidato Muzakkar, tentang rakyat miskin, tentang pemimpin duduk di kursi empuk, tentang negara yang menindas…
Gue ngerti kenapa banyak orang langsung klik LIKE.
Karena luka selalu lebih cepat dipercaya
daripada sejarah.
Tapi justru karena gue pernah hidup di sisi lapar itulah…
gue jadi curiga
pada orang yang terlalu cepat menjual penderitaan.
---
Di sebuah lapangan, seorang pria berdiri.
Dengan lautan massa.
Dan mikrofon di tangan bukan hanya pengerasan suara.
Itu adalah bahan bakar — dan isinya:
kemarahan kolektif seperti bensin, menunggu percikan api pertama.
Namanya: Kahar Muzakkar.
Pada hari itu, ia tidak sekadar berpidato.
Ia sedang menempelkan musuh di dahi orang-orang yang bingung harus menyalahkan siapa.
Dengan suara berapi-api, ia berkata kepada kerumunan:
> “Kedudukan bangsa Indonesia dewasa ini berada di jurang totalitarisme, berada di dalam keriting, perkosaan, dan bergaul negara totaliter Pancasila… berada di bawah telapak kaki seorang diktator garang bernama Sukarno… mempermain-mainkan nasib hidup kita semua…”
— Kahar Muzakkar, 1960-63an
Kalimatnya beruntun. Terlihat gagah. Terasa membela.
Ia menyebut Demokrasi Terpimpin sebagai penipuan.
Ia menuding Sukarno sebagai dewa palsu yang menginjak demokrasi.
Ia berkata rakyat diperbudak oleh negara Pancasila.
Dan di telinga orang yang lapar,
orang yang hidupnya belum juga membaik setelah kemerdekaan,
itu terdengar seperti kebenaran yang telat datang.
Tapi ada satu bagian yang tidak pernah ia bacakan ke massa.
Bahwa pada saat yang sama,
ketika ia berdiri di lapangan dan menyebut dirinya khalifah,
ia sedang mengangkat bendera lain di republik yang sama.
Bukan sekadar menentang kebijakan.
Tapi menantang keberadaan negara itu sendiri.
Di waktu yang hampir bersamaan, dari sisi lain kekuasaan yang ia cela,
Sukarno justru mengulang-ulang satu peringatan yang jarang terpotong jadi video:
> “Revolusi kita belum selesai.
Dan setiap usaha untuk memecah Republik,
atas nama apa pun,
adalah pengucilan terhadap kemerdekaan itu sendiri.”
— Ir Soekarno, era Demokrasi Terpimpin (awal 1960-an)
Ia juga menyatakan dalam berbagai pidato kenegaraan:
> “Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku … tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke.”
— Ir. Soekarno
Dua pria bicara tentang rakyat.
Tapi hanya satu yang berbicara tentang bangsa yang utuh.
Yang satu menjual rasa sakit.
Yang satu memikul risiko perpecahan.
Dan sejarah yang licik ini gan…
tidak memilih siapa yang paling suci.
Tapi siapa yang paling mampu menahan Indonesia agar tidak pecah jadi serpihan-serpihan kecil yang kini kita sebut negara gagal.
---
Tapi dalam sejarah, yang paling berbahaya bukanlah selalu senjata.
Bukan berteriak.
Bukan juga bendera yang dikibarkan saat malam.
Yang paling berbahaya adalah keyakinan bahwa kita sedang membela kebenaran, sementara pelan-pelan kita hanya sedang menukar satu penindas dengan yang lain.
Di titik inilah, pemberontakan dari perjuangan menjadi cermin.
Bukan lagi siapa tentang yang benar.
Tapi tentang siapa yang akan kita jadikan setelah semua darah itu kering.
Dan jauh sebelum Indonesia berlumur konflik ideologi,
seorang epitel dari Jerman sudah mengingatkan dunia tentang bahaya yang sunyi ini.
Filsuf pertama masuk: Friedrich Nietzsche
---
Nietzsche pernah bilang:
> “Siapa yang terlalu lama bertarung dengan monster, perlahan akan menjadi monster itu sendiri.”
Kahar menganggap dirinya sedang melawan monster bernama diktator. Tapi yang terjadi di balik layar batinnya adalah:
Dia sedang membangun takhta lain.
Takhta versi dirinya.
Takhta versi ideologinya.
Dia menolak manusia disembah…
tapi perlahan mengarahkan orang untuk menyembah dirinya sendiri sebagai khalifah.
Bukankah itu ironi paling telanjang dalam sejarah?
---
Tapi monster yang dimaksud Nietzsche bukan hanya hidup di luar tubuh manusia.
Ia bersembunyi lebih dalam.
Di pikiran.
Di luka.
Di bagian jiwa yang tidak pernah kita akui ada.
Jika Nietzsche berbicara tentang bahaya saat melawan kegelapan di luar diri,
maka sekarang kita turun satu lapis lebih dalam — ke kegelapan yang hidup di dalam diri manusia sendiri.
Dan di sini, suara yang paling berbahaya… justru berasal dari dalam kepala kita.
Sekarang kita masuk ke suara batin terdalam, pakar psikologi kawakan:
Carl Jung…
---
Dalam analisisnya, Carl Jung menyebut ini: Bayangan (Bayangan)
Semua manusia punya sisi gelap yang tidak ingin ia akui.
Dan seringkali,
apa yang paling kita benci dari orang lain…
adalah apa yang diam-diam tinggal di dalam diri kita.
Muzakkar teriak:
> “Sukarno ingin jadi dewa!”
Padahal, jika kita bedah dari sisi psikologi Jungian: Yang ingin jadi figur absolut… justru dirinya sendiri.
Karena:
– Ia mengangkat diri sebagai khalifah
– Saya menolak sistem kolektif
– Ia ingin satu kebenaran: versinya
– Ia tidak membangun, tapi membatalkan
Ini bukan revolusi.
Ini amputasi atas nama penyembuhan.
---
Lalu Sukarno… apakah dia suci? Tidak.
Apakah dia salah? Banyak.
Apakah dia kompleks? Sangat.
Tapi satu hal yang sering dilupakan manusia abad potongan video:
Indonesia tahun 1960-an adalah
bayi yang disuruh berlari di tengah perang.
Belum mapan,
belum kaya,
belum sembuh dari penjajahan,
udah harus hadapi:
–perpecahan internal
– tekanan internasional
– perang ideologi dunia
– dan pengucilan dari dalam negeri
Kalau hari ini orang teriak:
> “Gue ga setuju sama cara Sukarno!”
Coba jujur ??satu kali aja ke diri sendiri…
Kalau lo ada di posisi dia…
dengan ribuan pulau, ratusan suku, puluhan kepentingan asing, pemberontakan dari segala arah —
apa kamu yakin keputusanmu akan lebih bersih?
Atau justru lebih berdarah?
---
Masalahnya hari ini bukan Sukarno. Bukan Muzakkar.
Masalahnya adalah kita yang malas berpikir secara keseluruhan.
Kita hidup di era: Potongan video 60 detik Judul provokatif Suara dramatis Dan komentar yang lebih emosional dari otak
Sejarah dipotong. Makna dicincang. Lalu disajikan seperti mie instan ideologi.
Dan generasi yang malas berpikir mengatakan: kebenaran.
Dan kita…
langsung makan, tanpa lihat tanggal kadaluarsa.
---
Yang paling gila itu ini:
Muzakkar bilang:
“Rakyat diperbudak”
Tapi coba lihat kenyataan pahitnya:
Biasanya orang yang paling berisik berbicara tentang masalah berkepanjangan...
adalah orang yang ingin menjadi majikan baru.
---
Penutup – jujur ??dari hati gue yang dulu pernah lapar
Gue bukan penggemar tapi Sukarno.
Gue juga bukan pendukung pemberontakan romantika.
Gue cuma orang yang belajar satu hal dari hidup:
Yang bikin bangsa ini hancur
bukan satu orang jahat…
tapi jutaan orang yang berhenti berpikir.
Dan kalau hari ini lu hampir terbawa emosi
oleh pidato seorang pemberontak 60 tahun lalu, yang dikemas oleh potongan video 60 detik.
Tenang.
Lu ga bodoh.
Lu cuma manusia.
Tapi setelah baca ini…
kalau kamu masih mau menyebut pengkhianat sebagai pahlawan…
Itu bukan salah sejarah lagi.
Itu pilihan lu.
---
> “Bukan videonya yang berbahaya, tapi kemalasan kita berpikir saat menontonnya.
Dari situlah propaganda menemukan rumahnya.”
— Jiwa Emosi Biru, 2025
---
(***)