Legenda Ina Nenggu NTB
Pada zaman dahulu, di bumi Sari (sekarang di Desa Sari Kecematan Sape Kabupaten Bima), tinggalah sepasang suami-istri yang sudah menjadi kakek dan nenek. Mereka bekerja sebagai petani, mengembala kerbau, dan senang bertapa.
Setiap hari mereka mengembala ternaknya di suatu tempat yang tidak jauh dari gubuk sederhananya, yaitu tempat mereka berpuluh-puluh tahun berteduh dari teriknya matahari dan derasnya rinai hujan. Sayangnya, kebahagiaan mereka tidak lengkap tanpa kehadiran sang buah hati. Pasangan ini sangat menginginkan seorang anak untuk mewarisi kehidupannya. Merekapun terus berdoa dan berusaha untuk mendapatkan seorang anak, tapi belum juga terwujud.Pada suatu hari, pasangan ini pergi ke gunung untuk mengembala kerbau miliknya. Tiba-tiba sang kakek membuang air kecil di sebuah sungai, lalu air sungai tersebut diminum oleh salah satu kerbau berwarna yang mereka miliki. Hari berganti hari kerbau yang meminum air tersebut pun hamil dan melahirkan seorang anak manusia dan seekor anak kerbau putih. Mereka sontak kaget dan bersyukur melihat kerbau tersebut melahirkan kerbau putih sekaligus melahirkan seorang bayi manusia. Bayi itupun langsung diasuh oleh pasangan yang sudah sejak lama menanti sang buah hati ini. Puluhan tahun kemudian, di gunung tempat kakek dan nenek itu mengembala kerbau, datanglah rombongan yang sedang berburu rusa. Di antara rombongan pemburu tersebut ada yang bernama Salahudin dan Hasanudin. Tujuannya berburu rusa karena istri Salahudin ingin memakan hati rusa. (istrinya Salahudin adalah sala satu adiknya Hasanudin). Suatu ketika rombongan pemburu itu tiba di tempat kakek dan nenek itu biasa mengembala kerbau.
Selayang Pandang Kurujanga "Asal Usul Kurujanga" (Bagian 2)
Selayang Pandang Kurujanga "Kehidupan Moyang di Doro Ese Patua" (Bagian 1)
Selayang Pandang Kurujanga "Wilayah Ncuhi Doro Kalendo" (Bagian 3)
Tidak sengaja, ternyata di hadapan mereka, terlihat anak kerbau putih yang sangat indah dan sedang memakan rumput. Karna kagum dengan kerbau putih tersebut, mereka langsung membawa lari anak kerbau kemudian dibawa ke pulau seberang, yaitu Sulawesi Selatan. Kakek dan nenek mulai menyadari kehilangan anak kerbau itu dan mulai mencarinya. Bukan cuma kakek dan nenek itu yang mencari anak kerbau yang hilang, namun induk kerbaupun ikut mencari anaknya. Pasangan yang sudah mulai bahagia ini sangat merasa kehilangan. Setiap hari mereka duduk termenung, menunggu, dan berharap agar anak kerbau yang hilang dapat segera kembali.
Setiap hari pagi, siang, dan bahkan malam hanya dihabiskan menanti si putih nan cantik itu. Lama-kelamaan kakek itupun berubah menjadi batu (patung) di salah satu gunung di tanah Sari. Gunung tersebut terletak di tenggara Desa Sari, masyarakat di sana menyebutnya sebagai "DORO OMPU ME'E". Doro artinya gunung, ompu artinya kakek, dan me'e artinya hitam. Karena di gunung tersebut berdiri kokoh patung kakek yang berwarna hitam. Suatu hari, anak kerbau tersebut mau disembelih untuk acara resepsi pernikahan di pulau Sulawesi Selatan. Sesaat sebelum disembelih, anak kerbau itu tiba-tiba memanggil induknya dengan sebutan "oowwwaaaaa". Karena kejadian tersebut kota itu langsung di beri nama "GOWA". "GOWA".