AWAL MULA “TABE BANGKOLO”
Di antara gugusan pegunungan dan hamparan lembah di sebelah barat tanah Sape Bima. Hiduplah seorang Ncuhi bersama seluruh rakyatnya. Ncuhi itu bernama Ncuhi Jia. Sedangkan kampung dan wilayah kekuasaannya bernama Jia. Karena nama pemimpin (Ncuhi) justru terilhami dari nama gunung, lembah atau kampung yang dikuasainya.
Pada suatu hari Ncuhi Jia kedatangan utusan dari Ncuhi Lambu. Seorang Ncuhi yang menguasai wilayah tenggara tanah Sape.
“ Kami datang untuk menyampaikan amanat Ncuhi Lambu.”
“ Amanat ? Apakah yang menjadi hajatnya ?” Ncuhi Jia ingin tahu.
“ Beliau bermaksud menyelenggarakan pesta besar dalam rangka perkawinan putrinya.”
. “ Wah…..Wah….Wah… ! Hebat…. Hebat ! Kapan pesta itu dilaksanakan ?” Ncuhi Jia semakin penasaran.
“Pada malam purnama depan.”
“ Kalau begitu, pada kesempatan ini saya nyatakan untuk hadir pada pesta itu. Dan sampaikan salam hormat saya pada Ncuhimu.”
“ Baiklah ! Kami tidak akan berlama-lama di sini karena masih banyak urusan yang harus diselesaikan.”
Lalu utusan itu meninggalkan kediaman Ncuhi Jia menuju kampung halamannya.
Berita tentang pesta besar Ncuhi Lambu tersebar ke seluruh wilayah Jia. Dari puncak-puncak gunung sampai ke hulu sungai orang-orang bercerita tentang pesta tersebut. Sebab pesta seorang Ncuhi adalah hajatan yang sangat jarang dilakukan. Dan jika dilakukan pastilah dilaksanakan secara besar-besaran serta melibatkan orang yang banyak. Kebutuhan pesta pun sangat banyak. Karena yang menghadirinya bukan saja rakyat Lambu, tetapi datang dari berbagai penjuru akan turut hadir dalam pesta tersebut.
Mendengar kesediaan Ncuhi Jia yang akan hadir dalam pesta akbar itu, Seluruh rakyat menyambut dengan suka cita. Seluruh kebutuhan pesta mulai disiapkan. Seperti padi, Kelapa muda maupun yang sudah tua, Kayu bakar, Bawang merah dan bawang putih, dan segala macam kebutuhan dapur. Ada pula yang mengumpulkan hewan ternak seperti Kerbau, Sapi, Kambing, dan bahkan sepasang ayam jantan dan betina. Semua itu dilakukan sebagai wujud kepedulian atas hajatan-hajatan yang dilakukan antar sesama. Meskipun pihak Nuhi Lambu tentunya telah menyiapkan segala sesuatunya. Namun merupakan suatu keharusan bagi masyarakat Jia untuk menyumbang segala yang dimlikinya untuk hajatan sesama.
Pagi yang cerah diiringi kicau burung di dahan –dahan pohon, Ncuhi Jia bersama seluruh rakyat memulai perjalanan menuju kediaman Ncuhi Lambu. Tua muda dan bahkan anak-anak juga turut serta. Dengan penuh suka cita mereka berjalan beriring iringan menelusuri lembah dan mendaki gunung. Sepanjang jalan ada yang melantunkan senandung, dan ada pula yang berpantun dan bersyair. Tak perduli terik matahari. Sebab itulah sesuatu yang dinanti-nantikan selama ini. Pesta Ncuhi dari wilayah yang bertetangga dan bahkan yang jauh sekalipun.
Mentari mulai beranjak pulang. Mega merah bertatah ratna mutu manikam mengiringi senja di ufuk barat. Burung-burung mulai kembali ke sarangnya. Kampung Lambu mulai tampak dari atas gunung.Perlahan-lahan rombongan Ncuhi Jia menuruni jalan setapak dari lereng-lereng gunung. Tak lama kemudian mereka tiba di kediaman Ncuhi Jia.
Suasana haru, bangga dan bahagia menyelinap di relung hati mereka. Ada yang saling bersalam salaman, ada pula yang berpelukkan. Sebab pertemuan seperti itu sangat jarang dilakukan. Kesempatan itu dimanfaatkan untuk saling melepas rindu. Saling berbagi rasa. Saling bertukar pikiran tentang sawah ladang, masa tanam dan hasil panen.
Purnama lima belas menaungi ketenangan malam. Pesta mulai digelar. Makanan dan minuman yang lezat-lezat mulai disuguhkan. Rombongan Ncuhi Jia menikmati makanan itu dengan lahap. Sebab seharian telah lelah berjalan dari kampungnya. Gendang mulai ditabuh. Diiringi tiupan serunai yang mengalun merdu. Beberapa orang mulai memasuki arena yang memang telah disiapkan untuk berlaga. Sementara tiap pasang mata yang menyaksikan bersorak memberikan dukungan sambil tetap menikmati hidangan yang telah disiapkan.
Di sebuah tempat yang telah disiapkan dan tertata rapi, Ncuhi Jia dan sahabatnya Ncuhi Lambu duduk bersanding. Tampak di depannya tersaji makanan dan minuman yang memang khusus disiapkan untuk keduanya. Sambil berbicara, bertukar pikiran dan bercerita tentang keadaan wilayah masing-masing, keduanya menikmati suguhan yang tersaji di depan.
Tanpa terasa malam pun terus bergulir. Purnama lima belas mulai terhalang gugusan pegunungan. Rombongan Ncuhi Jia mulai berkemas pulang sambil menunggu Ncuhinya.
“ Ncuhi kelihatan lelah.” Ncuhi Lambu menyapa sahabatnya yang mulai menguap.
“ Nggak masalah, saya sudah terbiasa melek.” Ncuhi Jia bertahan.
“ Jika Ncuhi berkenan, sudilah kiranya beristirahat dulu dalam bilik.” Ncuhi Lambu menawarkan.
“ Saya takut kelolosan tidur, Karena besok kami akan bergotong royong.”
“ Menurut saya ada baiknya Ncuhi merebahkan diri sejenak untuk mengembalikan tenaga sebagai persiapan untuk pulang.” Ncuhi Lambu terus mendesak.
Akhirnya Ncuhi Jia mengalah. Sambil terus menguap ia berjalan menuju ke Bilik yang telah disiapkan Ncuhi Lambu. Tak lama kemudian ia tertidur pulas. Sementara itu, di arena pesta terus berkemas untuk pulang. Semuanya sudah siap dan tinggal menunggu Ncuhinya. Setelah lama mereka berunding, akhirnya mereka meutuskan untuk kembali ke kampung Jia.
Malam tinggal sepenggal. Cahaya putih mulai muncul di langit timur. Ayam-ayam piaraan sudah mulai berkokok. Menandakan hari sudah beranjak pagi. Tak lama kemudian burung-burung pun mulai berkicau. Sinar putih mulai digantikan cahaya merah yang menandakan bahwa mentari mulai keluar dari peraduannya. Ncuhi Jia mulai bangun. Perlahan-lahan ia berjalan keluar dari bilik. Satu persatu diamati keadaan sekeliling. Semuanya masih tertidur lelap.
Setelah melangkah lebih jauh, ia terkejut. Sebab tak satupun dari warganya yang terlihat. Sepi, hening dan lengang menambah kegundahan dalam hatinya. “Kemana mereka ? Tega nian meninggalkan aku sendirian di sini. Padahal sebelumnya sudah sepakat untuk pulang bersama.” Gumannya dalam hati. Rasa kesal bercampur caci maki menghiasi bibirnya. Kemana ia harus melangkah ? Jalan manakah yang harus ditapaki? Itulah pertanyaan yang terus muncul di benaknya. Sebab ia tidak tahu jalan pulang.
Larut dalam kekesalan, tanpa terasa ia telah memasuki hutan belantara. Pasrah ia berjalan meski tak tentu arah. Semakin lama semakin tak jelas arah mana yang sedang ditempuh. Apakah ke barat? Ke timur ? atau ke selatan ?. Tetapi yang jelas hutan yang rimbun dan lebat tengah dilewatinya. Dan tanpa disadari ia telah tiba di pinggir pantai.
Ketika ia duduk bersandar di bawah Nyiur yang melambai, tiba-tiba saja matanya selalu tertuju kepada sesuatu yang sedang menuju ke arahnya nun jauh di tengah lautan. Semakin lama semakin dekat. Namun ia belum dapat memastikan apakah itu perahu atau benda lain. Keraguannya terjawab ketika semakin mendekat dan tepat berada di hadapannya. Ternyata adalah seekor Ikan Ekor Kuning (Bima: Uta Bangkolo) yang sangat besar. Ncuhi Jia terkejut dan heran ketika ikan itu dapat berbicara dan menawarkan sesuatu kepadanya.
“ Naiklah di atas punggung saya dan saya akan membawa tuan sampai ke tujuan.”
Tanpa berpikir panjang Ncuhi Jia langsung naik di atas punggung ikan itu. Secepat kilat ikan itu membawa Ncuhi Jia untuk berkeliling mengitari selat Sape. Dan mengantar Ncuhi Jia sampai ke kampungnya.Seluruh warga terheran-heran melihat Ncuhinya turun dari punggung ikan itu. Dengan penuh rasa suka cita mereka menghampiri Ncuhinya. Tak lupa pula mereka menyampaikan permohonan maaf atas kecerobohan mereka. Namun sebelum ikan itu meninggalkan pantai, Ncuhi Jia mengangkat sumpah sambil memegang punggung ikan itu. Sebagai ungkapan terima kasihnya atas pertolongan ikan itu.
“ Pada hari ini aku bersumpah, bahwa aku, wargaku dan anak keturunanku tidak boleh sekali-sekali memakan ikan ekor kuning( Uta Bangkolo). Jika sumpah ini dilanggar, maka seluruh tubuhnya akan gatal-gatal dan membengkak. Dan tidak ada obat yang mujarab untuk itu.”
Seluruh rakyat hanya diam dan menunduk. Isi sumpah itu telah mengikat mereka. Dan senantiasa memaksa mereka untuk harus berhati-hati memakan ikan ekor kuning. Sebab Ncuhinya telah bersumpah di hadapan ikan itu. Dan jelas ikan itu akan mengumumkan pula kepada anggotanya tentang isi sumpah itu. Namun seiring bergulirnya sang waktu. Sumpah itupun sedikit demi sedikit terlupakan. Apalagi setelah Ncuhi Jia wafat. Hingga pada suatu ketika anak keturunannya menyelenggarakan pesta besar-besaran. Dan yang diundangpun adalah para Ncuhi dan rakyat dari wilayah lain. Di antara ikan yang dibawa oleh para tamu itu, terdapat pula ikan ekor kuning. Mereka asyik saja menyantap ikan itu. Tak lama kemudian, sekujur tubuh mereka gatal-gatal. Kepalanya pusing, mual-mual dan muntah. Mereka seperti orang kesurupan.
Sejak saat itu masyarakat yang bermukim di wilayah desa Jia kecamatan Sape. Tidak mengkonsumsi ikan ekor kuning hingga sekarang. Dan Wajan besar beserta seluruh perangkatnya sebagai bukti peninggalan zaman itu masih ada dan terletak di atas sebuah bukit di sekitar desa Jia kecamatan Sape Bima. Wajan itu dikenal dengan nama TABE BANGKOLO.
Begitulah Asal Mulanya.